Wednesday, July 22, 2009

After the terrorist attacks in Jakarta

Lia Christie:

Dr. Payne (and Efe),

I’m doing fine in Jakarta, I think the rest is okay too, with their works.
.....
Why have you been worried about us?

Is that because of the bomb exploded in JW Marriot Hotel and Ritz Carlton Hotel (which you stayed in last time you came here)?

......

But well… life goes on. Hope everything will be ok here when the Election Commission announce the result officially later.


About the bomb in JW Marriot Hotel and Ritz Carlton Hotel, the President had made a controversial statement about it.

He gave a quite open assumption that it could be an attack from some people who is not satisfied with the election quick qount result.

But now we found that the investigators said it was the Jamaah Islamiah who responsible to that tragedy.


Well… I think that’s all for now.

....

Widhie Kurniawan

Hello Professor ....
I'm fine.
also is Jakarta and Indonesia..

just low explosive bomb..., but high impact..JW MARRIOT...
.....

Alvin Masrifah


Hi, Dr. Payne

I am okay, but I'm busy with some Michael Jackson projects...

Well, anyway, Jakarta is fine too although we've bombed last week,
everything keeps normal here
...

Rizki Washarti SIREGAR

Hi Dr. Payne! (and everyone)
Im fine, and I think I can say on behalf of the others...we're all thankfully ok here in Jakarta...:)

Sure, the bombings last week was a real shock, but we're all doing good and the police are trying their best to catch the perpetrators and to improve the security in Jakarta...

Its been a hectic week, and Im guessing all of us have to work extra hours due to last week happening...but we'll survive:)

Monday, May 18, 2009

Mr. Rusmadi's Articles from Indonesia

The below photo gallery and slide show are contributions of Mr. Muhammad Rusmadi. Please check the blog posts to read his articles.





Photo Gallery of the slide show.

Menikmati Delima Syurga di Athens Enjoying Heaven’s Pomegranate in Athens

Thu, Nov 13, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (18)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (18)

Muhammad Rusmadi



Menikmati Delima Syurga di Athens

Enjoying Heaven’s Pomegranate in Athens

Di Islamic Center kota Athens ini adzannya dua kali. Seperti yang biasa dipraktekkan di masjid-masjid kaum NU di Indonesia. Setelah adzan kedua, baru khatib maju ke mimbar khotbah. Usame Tunagur, khatib asal Turki ini menegaskan pentingnya ber-tafakkur, aktivitas berpikir dalam hidup ini. Termasuk menyangkut alam sebagai tanda kebesaran Tuhan yang juga harus direnungi.
Khotbah ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 20-an menit. Usai Jumatan, saya kembali melihat-lihat jamaah. Bule yang saya lihat cuma Arthur Gish, aktivis perdamaian yang juga pro rakyat Palestina itu. “Setahu saya di sini (Athens -red) cuma ada tiga keluarga Muslim. Mereka semua bukan orang kulit putih atau asli Amerika. Mereka juga tidak pernah saya lihat shalat di masjid ini,” jelasnya.
Usai shalat jamaah dihidangi berbagai macam buah-buahan di salah satu pojok belakang dalam Islamic Center yang juga masjid ini. Banyak sekali. Pisang, apel, anggur, mangga, jeruk, strawberry. Saya mengambil piring dan menikmati seraup anggur dan beberapa buah pisang. Lumayan, makan siang dengan buah-buahan segar. Tapi perhatian saya tertuju pada buah yang mirip apel, merah, tapi berukuran besar. “Ini buah syurga. Buah 'rummaan' atau pomegranate ,” jelas Ahmad, menyebut sebutan bahasa Arab dan Inggrisnya sekaligus.
Saya pun teringat beberapa kali kata 'rumman' ini muncul dalam al-Qur'an. ‘Rumman’ adalah buah delima. Setidaknya ada tiga ayat al-Qur’an yang menyebut buah delima ini. Yakni dalam surah al-An’am (surah ke-6) ayat 99 dan 141, serta surah ar-Rahman (surah ke-55) ayat 68. Dan sebenarnya, nama buah yang berasal dari Persia ini juga disebut dalam tradisi agama yahudi dan Kristen, hingga mitologi Yunani.
Saya pun menikmati buah ini. Rasanya sedikit asam manis. Bagian dalamnya yang kecil-kecil mirip biji jagung, namun warnanya merah menyala.
Penasaran apakah buah-buahan yang melimpah ini disumbang oleh para jamaah shalat Jumat, saya bertanya kepada seorang mahasiswa Indonesia yang rajin shalat di sini. “Ini yang nyumbang cuma satu orang lho. Tuh orangnya,” bisik rekan mahasiswa ini, menunjuk seorang pria Arab berambut gondrong.
Saya sudah kenalan dengan pria itu. Saat datang pukul 11.00 sebelumnya, saya hanya melihat dia sendirian di Islamic Center ini. Abdul Azis, demikian namanya. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya bergelombang, panjang sebahu. Matanya tajam. Alisnya tebal. Dia adalah mahasiswa Ohio University (OU) asal Qatar. Jam 11.00 hari itu dia buru-buru meninggalkan saya karena mengaku harus masuk kuliah lagi.
“Dia itu juragan tuh,” tambah mahasiswa Indonesia itu lagi berbisik kepada saya. Tapi seorang mahasiswa India lalu berkomentar. “Pokoknya, ada deh. Nggak usah ditanya siapa yang nyumbang buah-buahan ini. Cukup doakan saja orangnya,” ungkapnya. (Selesai/THE END)

Pakai Topi Malaysia, Diprotes Aktivist Buruh Migran My Malaysian Hat is Protested by Migrant Labor Activist

Wedn, Nov, 12, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (17)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (17)



Pakai Topi Malaysia, Diprotes Aktivist Buruh Migran
My Malaysian Hat is Protested by Migrant Labor Activist


Jumat (7/11) lalu, hiruk pikuk terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru sudah tidak begitu heboh lagi. Kalaupun ada, paling hanya sekadar obrolan kecil antar teman tentang kemenangan Obama yang luarbiasa itu, kekalahan McCain, tantangan dan berbagai permasalahan besar yang bakal dihadapi Obama, serta harapan yang juga kelewat berlebihan terhadap Senator negara bagian Illinois ini.
Saya hanya ingin ke Islamic Center di kota Athens, Ohio, untuk bisa Jumatan disana. Jam 11.00 pagi, saya sudah hadir disana. Sebelumnya, saya sendirian memang sudah menyurvei lokasi Islamic Center ini. Karena mencari sendiri berdasarkan peta, saya bertanya-tanya kepada warga sekitar dimana kawasan 13 Stewart. Saya lupa janjian dengan mahasiswa Indonesia disini. Padahal kalau dengan mereka, saya tentunya tidak perlu kebingungan lagi mencari-cari alamat. Akhirnya saya harus memutar jauh, tapi setelah ketemu, ternyata gedung Islamic Center ini tak jauh dari gedung perpustakaan Ohio University (OU).
Disini saya berharap bisa bertemu barangkali saja ada warga lokal kota Athens yang biasa Jumatan disini. Warga lokal, maksud saya adalah orang Amrik asli, seperti yang pernah saya dapati di masjid kawasan Roxbury, Boston, sebelumnya.
Ternyata saya datang kepagian. Sehari sebelumnya saya memang diberitahu, jadwal Jumatan disini biasanya sekitar jam 13.00. Meskipun sebenarnya jadwal shalat Dzuhur adalah pukul 12.13. “Khusus untuk Jumatan, waktunya dimundurkan,” terang Shaleh, yang saya temui sehari sebelumnya disini. Waktu itu pria keturunan Arab ini usai melakukan shalat Ashar. Dia bukan mahasiswa, akunya. Tapi sudah jadi warga Amrik dan tinggal sekitar 1,5 jam naik mobil dari kota Athens.
Merasa kepagian, saya keluar mencari makan siang dan kembali lagi satu jam kemudian. Saat itu sudah terlihat enam orang duduk-duduk santai, selonjoran sambil bersandar di pojok ruangan Islamic Center itu. Mereka menikmati teh. Saya tidak begitu gembira, karena dari keenam orang ini tak ada satu pun yang bule. Padahal saya sangat berharap bisa ngobrol sekaligus menggali informasi dari warga lokal, yang Muslim.
Lima orang di antara mereka saya pastikan adalah orang-orang Arab. Satu orang adalah mahasiswa Indonesia yang sudah saya kenal sejak seminggu sebelumnya. Dia adalah aktivis buruh, Migrant Care yang sedang kuliah di Studi Asia Tenggara di Ohio University (OU). Saat saya dadakan diminta jadi pembicara di Kajian Asia Tenggara ini seminggu sebelumnya, dia memprotes topi saya yang berlogo Malaysia. “Topinya tolong dilepas dong, Mas. Itu kan mempromosikan Malaysia banget,” katanya sambil senyum.
Tadinya saya pikir dia cuma bercanda. Tapi belakangan saya tahu dia serius, sembari menyatakan kekurangan senangannya dengan negeri jiran itu. Bisa ditebak, karena urusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita disana memang mengecewakan banyak pihak. Termasuk buat Migrant Care ini, yang banyak menangani kasus penganiayaan buruh Indonesia disana. Demi menghormati “ideologi perjuangan” kawan senegara saya ini, saya pun akhirnya rela melepas topi saya.
Mendekati pukul 13.00, jamaah berdatangan. Tapi tak satu pun dari mereka yang Muslim bule yang saya cari. Mereka umumnya orang-orang Arab, Afrika, India dan tentunya Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka juga umumnya adalah mahasiswa. Tidak banyak yang sudah menjadi warga negara Amerika.
Pukul 13.15, Ahmad, mahasiswa asal Mesir yang mengambil studi Human and Comsumer Sciences di OU mengumandangkan adzan. Suaranya lembut. Tapi bukan karena kurang gizi. Soal ini, dia sendiri yang ngomong saat kami kenalan sebelumnya. Studi dia, menurut jebolan Suez Univerity, Mesir ini juga menyangkut ilmu gizi. “Tapi Anda lihat sendiri saya seperti orang kurang gizi ya,” candanya. Ahmad memang bertubuh kurus, bicaranya pelan, dan matanya rada sayu.
Disini adzannya dua kali, seperti yang biasa dipraktekkan di masjid-masjid kaum NU. Setelah adzan kedua, baru khatib maju ke mimbar khotbah. Usame Tunagur, khatib asal Turki ini menegaskan pentingnya ber-tafakkur, aktivitas berpikir dalam hidup ini. Termasuk menyangkut alam sebagai tanda kebesaran Tuhan yang juga harus direnungi.
Khotbah ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 20-an menit. Usai Jumatan, saya kembali melihat-lihat jamaah. Bule yang saya lihat cuma Arthur Gish, aktivis perdamaian yang juga pro rakyat Palestina itu. “Setahu saya disini (Athens -red) cuma ada tiga keluarga Muslim. Mereka semua bukan orang kulit putih atau asli Amerika. Mereka juga tidak pernah saya lihat shalat di masjid ini,” jelasnya.
Usai shalat jamaah dihidangi berbagai macam buah-buahan di salah satu pojok belakang dalam Islamic Center yang juga masjid ini. Banyak sekali. Pisah, apel, anggur, mangga, jeruk, strawberry. Saya mengambil piring dan menikmati seraup anggur dan beberapa buah pisang. Lumayan, makan siang dengan buah-buahan segar. Tapi perhatian saya tertuju pada buah yang mirip apel, merah, tapi berukuran besar. “Ini buah syurga. Buah 'rummaan' atau pomegranate ,” jelas Ahmad, menyebut sebutan bahasa Arab dan Inggrisnya sekaligus.
Saya pun teringat rasanya pernah mendengar kata 'rumman' ini dalam al-Qur'an, tapi lupa di surah apa dan ayat berapa. Saya pun mencoba menikmati buah ini. Rasanya sedikit asam manis. Yang dimakan adalah bagian dalamnya yang kecil-kecil mirip biji jagung, namun warnanya merah menyala.
Penasaran apakah jamaah yang menyumbang buah-buahan yang melimpah ini, saya bertanya kepada seorang mahasiswa Indonesia yang rajin shalat disini. “Ini yang nyumbang cuma satu orang lho. Tuh orangnya,” bisik rekan mahasiswa ini, menunjuk seorang pria Arab berambut gondrong.
Saya sudah kenalan dengan pria itu. Saat datang pukul 11.00 sebelumnya, saya hanya melihat dia sendirian di Islamic Center ini. Abdul Azis, demikian namanya. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya bergelombang, panjang sebahu. Matanya tajam. Dia adalah mahasiswa OU asal Qatar. Jam 11.00 hari itu dia buru-buru meninggalkan saya karena mengaku harus masuk kuliah lagi. “Dia itu juragan tuh,” tambah mahasiswa Indonesia itu lagi berbisik kepada saya.
Tapi seorang mahasiswa India berkomentar. “Pokoknya, ada deh. Nggak usah ditanya siapa yang nyumbang buah-buahan ini. Doakan saja dia,” ungkapnya. (Bersambung)

Imam Perempuan Yahudi: I Love Obama Jewish Rabbi: I Love Obama

Tue, Nov 11, 2008


Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (16)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (16)

Imam Perempuan Yahudi: I Love Obama
Jews Woman Rabbi: I Love Obama

Salah satu rasa penasaran saya saat akan berangkat meliput pemilihan presiden (pilpres) ke Amrik ini adalah ingin bertemu warga Yahudi Amerika. Saya penasaran sekali mengetahui asiprasi politik mereka, termasuk menyangkut pandangan mereka tentang kedua calon presiden (capres) yang kemarin bertarung.
Selama ini di Indonesia, kabar tentang lobi Yahudi Amerika memang dianggap super canggih. Umumnya hanya diketahui dari membaca buku-buku. Konon, lobi Yahudi ini bahkan mampu mempengaruhi berbagai kebijakan luarnegeri Amerika di Timur Tengah sana. Termasuk dalam konflik Israel-Palestina.
Selain itu, juga ada keyakinan selama ini, yang namanya capres Amrik harus mendapat “restu” dari lobi Yahudi ini. Kalau tidak, jangan harap bisa terpilih. Restu itu, dalam arti komitmen mendukung kepentingan-kepentingan Israel melalui warga Yahudi Amerika, tentunya.
Saya hanya ingin merasakan bisa bertemu dan berdialog langsung dengan warga Yahudi Amerika. Sayang, saat di Boston, karena padatnya jadwal, saya tak bisa melakukan liputan tambahan ini. Tapi saat di Athens, Ohio, saya dikasih tahu teman mahasiswa Indonesia yang studi disini, ada sebuah kelompok mahasiswa Yahudi yang mungkin menarik buat saya. Karena pimpinannya –biasa disebut Rabbi, mungkin seperti imam, atau kyai dalam agama Islam-- adalah perempuan. Saya tertarik tentu. Sepertinya kelompok ini adalah kelompok progresif, karena punya pemimpin perempuan. Nama organisasinya, Hillel.
Saat menyaksikan penghitungan hasil suara pilpres Amrik Selasa (4/11) malam sebelumnya, di gedung John Calhoun Baker Univeristy Center di Ohio University (OU) –biasa disebut Baker Center, semacam pusat kegiatan mahasiswa berlantai empat – saya sebenarnya melihat pengumuman adanya kegiatan mahasiswa Yahudi disini. Menarik. Kajian gender. Aliran pemikiran yang mengedepankan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam semua agama, termasuk Islam, aliran seperti ini sebenarnya ada. Meski bagi kelompok tradisionalis, aliran ini dianggap “pemberontak”, kebablasan. Dan ternyata pula, tempelan pengumuman itu berasal dari Hillel.
Kamis (6/11) lalu saya langsung menuju kawasan Mill 21 Street mencari markas Hillel ini. Tempat ini berbentuk rumah bertingkat dua. Di pagar rumah itu terpasang papan nama 'Hillel'.
Sayang, meski pintu terbuka, tak satu pun orang di dalam. Saya tidak berani nyelonong masuk. Sambil berdiri di depan pintu, saya beberapa kali memanggil apa ada orang disana. Sambil menunggu sebentar saya mencoba melihat-lihat suasana di dalam. Sepertinya ruang utama yang ada di hadapan saya waktu itu adalah juga tempat ibadah. Tak ada seorang pun yang muncul setelah sekitar lima menit, saya pun meninggalkan tempat itu.
Gagal ketemu hari itu, saya pun berkirim email. Kebetulan di pengumuman yang saya dapat di Baker Center itu tertera alamat atasnama Rabbi Daniella Leshaw. Tadinya saya kira Daniella adalah laki-laki. Tapi setelah saya lacak, yang muncul adalah foto seorang perempuan. Saya makin yakin, Rabbi perempuan inilah agaknya Rabbi yang dimaksud rekan saya itu.
Tapi sayang, email saya tak berjawab. Saya khawatir kalau-kalau Rabbi Daniella justru merasa khawatir bertemu saya. Mungkin dia was-was, karena belum kenal saya.
Dari website Hillel yang berhasil saya lacak, ternyata mereka menggelar beberapa event. Termasuk pada Jumat (7/11) malam itu, mereka ternyata akan menggelar event di Baker Center lantai II. Saya pun nekat menemui Rabbi Daniella malam itu.
Begitu menemukan ruangan yang saya cari, dari pintu yang terbuka saya langsung bertatapan dengan perempuan yang fotonya sebelumnya sudah saya lihat di internet. Dialah orangnya.
Saya kira tadinya ini hanya acara ngumpul dan makan-makan biasa. Tapi di pintu masuk, saya lihat sebuah kotak yang berisi semacam peci haji namun ukurannya lebih kecil. Mirip peci yang dipakai Pastor Katolik itu. Rupanya ini semacam acara ibadah mereka.
“Anda Rabbi Daniella?,” tanya saya. “Ya, betul,” jawab dia pendek. Dia mengenakan semacam selendang putih dengan hiasan warna biru pada bagian samping di bahunya. Mirip paduan warna bendera Israel.
Sambil mohon bisa “ngobrol” sebentar di luar ruangan, saya pun kemudian memperkenalkan diri. Saya yakin dia langsung mengerti maksud kedatangan saya, karena sebelumnya sudah saya utarakan via email. Termasuk soal Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Juga soal konflik Israel dan Palestina yang tak berkesudahan itu.
Tapi, dia terkesan kurang nyaman menerima saya. Mungkin karena saya ternyata tiba-tiba datang malam itu tanpa memberitahu lebih dulu. Saya pun langsung menanyakan apa pernah ada forum-forum diskusi atau dialog dengan warga Muslim di Athens.
Pertanyaan ini tidak dia jawab langsung. Namun menurutnya di Athens tidak banyak warga Muslim. Terlebih setelah tragedi WTC itu, kemunginan mendapatkan visa Amerika menjadi kian sulit, yang berakibat kian berkurangnya jumlah orang Muslim disini. Itu pun menurut Daniella umumnya adalah para mahasiswa yang studi disini.
Saya kemudian menanyakan pandangannya tentang Obama yang baru saja terpilih sebagai Presiden Amrik. “O, I love him,” jawabnya singkat lagi. Dia kemudian malah balik bertanya kepada saya. Sayangnya obrolan kami harus terputus, karena Rabbi Daniella mengaku harus segera masuk ruangan. “Masuk aja,” ajaknya kepada saya.
Dengan agak ragu, saya pun masuk. Ternyata Rabbi Daniella sudah di depan memimpin acara malam itu. Karena merasa perlu menghormati, saya berusaha bertahan dalam ruangan itu. Saya juga berharap nantinya bisa ngobrol lagi dengan Rabbi Daniella. Sayangnya hingga acara usai, kesepatan itu tak ada lagi. Rabbi Daniella sibuk berbicara dengan jemaatnya, hingga saya memutuskan pulang. (Bersambung)

Pejuang Perdamaian Yang Anti WC (Peace Fighter Who Is Anti WC)

Sun, Nov, 10, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (14)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (14)

Muhammad Rusmadi

Pejuang Perdamaian Yang Anti WC
(Peace Fighter Who Is Anti WC)

Hari itu Senin (3/11), hanya sehari menjelang pemilihan presiden (pilpres) Amrik. Saya menyambangi beberapa titik di kota Athens, Ohio. Salah satunya, Board of Elections (BE), semacam kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia. Ternyata disini lumayan ramai warga Athens yang sedang mengantri untuk memberikan suaranya. Hari itu adalah hari terakhir warga yang ingin melakukan pencoblosan awal (early voting).
Tapi di depan gedung State Court House, bersebelahan dengan gedung BE ini, saya menyaksikan pemandangan menarik lainnya. Setidaknya empat orang tua sedang berdiri di pinggir jalan. Masing-masing memegang kertas besar bertuliskan sejumlah tuntutan. Di antaranya, 'End the Occupation in Iraq and Palestine' (Akhiri Penjajahan di Irak dan Palestina), 'Bring the Troops Home' (Pulangkan Tentara).
“Wah, ada demo nih,” pikir saya. Saya mengamati dari seberang jalan, karena rasanya saya mengenal pria tua dengan jenggot lebat putih itu. “Astaga. Itu kan Arthur Gish?,” benak saya lagi.
Ya, Athens memang kota tempat tinggal dia. Sejak dari Jakarta, sebenarnya saya sudah ingin bertanya pada rekan-rekan saya yang pernah mengundangnya ke Indonesia, namun tak kunjung sempat. Art –demikian ia biasa disapa-- adalah aktivis perdamaian yang menentang berbagai bentuk aksi kekerasan. Termasuk kehadiran pasukan Amerika dan sekutu di Irak yang dia anggap penjajahan. Juga pasukan Israel di Palestina.
Art begitu terkenal di sejumlah kalangan aktivis anti kekerasan –termasuk di Indonesia-- ketika sebuah bukunya yang berjudul Hebron Journal diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diluncurkan. Pada cover edisi buku itu dipasang foto bagaimana Art menantang sebuah moncong tank tentara Israel.
Gish menulis tentang peristiwa yang dia alami di foto itu, “Sebuah tank datang menderu di hadapanku. Moncong raksasanya mengarah kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku di udara, berdoa, dan berteriak, ‘Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai! (Terpujilah nama Tuhan!’) Tank itu berhenti beberapa inci di hadapanku. Aku lantas berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan terangkat di udara. Aku merasa sendiri, lemah, dan tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.”
Menariknya –terlepas kita setuju atau tidak-- dia mengaku beragama Islam, di samping juga Kristen. “Bukankah Tuhannya sama,” kata dia santai. Ini jawaban saat dia ditanya soal agama ketika tampil dalam sebuah acara talk show di Jakarta. Acara itu ditayangkan live oleh sebuah stasiun televisi di Jakarta pada pagi hari. Jawaban ini juga yang dia berikan kepada saya, ketika saya iseng bertanya soal agamanya ini.
Saya cuma manggut-manggut. Untungnya saya pernah belajar Studi Perbandingan Agama yang salah satu teorinya adalah, semua agama sebenarnya sama, menyembah pada satu Tuhan yang sama. Meski ekspresinya yang kemudian beda-beda. Termasuk dalam menyebut nama Tuhan. Istilahnya, 'banyak jalan menuju Monas'. Begitulah kira-kira. Terserah kita setuju atau tidak.
Saya hanya tak menyangka malah bisa bertemu Art secara tak sengaja seperti kemarin itu. Tadinya saya malah berencananya mencari alamatnya. Syukurlah, akhirnya ketemu.
Belakangan, Art bilang, rumahnya sekitar 10-an kilometer dari pusat kota Athens. Saya sebenarnya penasaran ingin bertandang ke rumahnya. Tapi karena jadwal kami tak bisa bertemu, akhirnya saya gagal main ke rumahnya. Dari cerita seorang rekan, Art juga penggiat tanaman non-organik. “Kalau mau gampang cari aja dia (Art -red) di pasar sayur tiap Sabtu pagi. Dia jualan kok,” ungkap Arin, Presiden Asosiasi Mahasiswa Indonesia (Permias) di Athens, satu ketika saat bertemu saya.
Belakangan juga, Art memang bilang dia punya sekitar tiga hektar kebun tanaman non organik. Saya dengar juga dari kawan, rumahnya sangat bersahaja. Malah konon nggak punya WC, karena –maaf-- “ampas buangan” itu dimanfaatkan juga buat pupuk. Ehem! Satu ketika, supir yang mengantar beberapa rekan Indonesia ke rumahnya malah mengaku malu. “Mending ajak ke rumah saya (si supir -red) aja kalau bawa tamu dari luar (Amerika). Malu-maluin.” Begitu kira-kira si supir itu pernah berbisik. Sayang, saya tidak bisa mengkros-cek hal ini.
Menyangkut aksinya hari itu, Art menyangkal ini terkait pilpres Amrik yang sedang digelar. “Ini (demo -red) agenda rutin kita. Selama satu jam tiap hari Senin, kami berdiri disini,” ungkap Art sambil tersenyum bangga akan bentuk perjuangannya. (Bersambung)

Berkenalan Dengan Fotografer Obama (A Conversation with Obama’s Photographer)

Sat, Nov, 8, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (13)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (13)

Muhammad Rusmadi

Berkenalan Dengan Fotografer Obama
(A Conversation with Obama’s Photographer)

Saya merasa beruntung saat berada di kota Athens Ohio, dikenalkan dengan Pete Souza. Dia adalah fotografer Barack Obama saat presiden Amerika ini baru merajut karir politiknya sebagai senator. Saya menemuinya Senin (3/11) lalu, hanya sehari menjelang pencoblosan pemilihan presiden (pilpres) yang akhirnya memenangkan Obama sebagai presiden Amrik.
Saat ini, Pete lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajar di sekolah jurnalistik sebagai asisten profesor di School of Visual Communication, Sripps College of Communication, Ohio University. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah jurnalistik terbaik di Amerika Serikat. Meski demikian, di saat yang sama Pete juga masih menjadi fotografer freelance. Saat Amerika dipimpin Presiden Ronald Reagen, dia menjadi fotografer Gedung Putih waktu itu.
Sambil ngobrol, Pete pun memperkenalkan alamat website-nya, www.petesouza.com. Disini bisa disaksikan display foto-foto hasil jepretannya saat Obama baru dilantik sebagai senator mewakili negara bagian Illinois. Juga sejumlah perjalanan Obama sebagai senator yang sering dia ikuti. “Waktu itu cuma saya satu-satunya fotografer yang mengikuti dia (Obama -red),” ungkap Pete. Sementara fotografer lainnya umumnya tidak tertarik bergabung bersama Obama.
Bisa dilihat, jepretan-jepretan Pete saat di Rusia, misalnya. Karena saat itu Obama memang sama sekali tidak dikenal, orang-orang tak ada yang memperhatikannya alias cuek. “Coba Anda perhatikan, orang-orang di sekitar dia (Obama -red) nggak ada yang memperhatikan dia kan?,” ucap Pete, sambil menunjukkan hasil jepretannya saat Obama mengadakan kunjungan ke Moscow itu. Di foto itu terlihat orang-orang seperti sedang mengantri ke arah kanan. Sementara Obama di sebelahnya menghadap arah berlawanan, tak ada yang memperhatikan. “Coba kalau sekarang,” ungkapnya. Foto tersebut menurut Pete diambil sekitar tiga tahun lalu.
Juga saat Obama ikut menghadiri konferensi pers bersama para Senator lainnya, perhatian saat itu hanya tertuju kepada Richard Lugar, Senator gaek asal negara bagian Indiana. “Anda bisa lihat, kemana arah semua mikrofon ini ditujukan kan?,” tambah bekas fotografer Chicago Tribune Biro Washington ini lagi. Di sebelahnya, Obama tampak hanya melamun memperhatikan Richard.
Yang menarik buat Pete adalah, Obama terasa selalu pas dijepret dari sudut manapun. Dan Obama, lanjut Pete, juga tidak pernah merasa terganggu dengan kehadirannya sebagai fotografer di setiap kegiatannya, baik di hadapan publik, maupun saat sedang berada di ruangan kerja. “Sehingga foto-fotonya alamiah, tidak dibuat-buat,” jelas kontributor Majalah National Geographic ini lagi.
Sebagai tukang jepret profesional, Pete memang jeli melihat sisi-sisi humanis Obama, bahkan sejak presiden Amerika yang baru ini “belum jadi apa-apa”. Tapi, lanjut pria yang sudah menemani Obama ke Kenya, Afrika Selatan dan Rusia ini, dari awal dia sudah bisa menduga kalau Obama suatu saat akan melejit.
Sisi-sisi humanis, jepretan belakang panggung dari sosok Obama bisa disaksikan dari tayangan-tayangan di website Pete ini. Khusus buat essay foto-foto Obama di web itu, dia memberi judul 'The Rise of Barack Obama'. Kebangkitan Barack Obama.
Tayangan foto-foto ini dia awali dengan foto Obama yang tampak setengah berlari menaiki tangga gedung Capitol Hill. Seolah foto ini menggambarkan bagaimana Obama menuju puncak kekuasaan. Sementara foto kedua, foto Obama bersama anaknya Malia. Foto ini menggambarkan sosok Obama yang tidak pernah melupakan keluarganya, bahkan di tengah kesibukannya sebagai politisi.
Di setiap kesempatan hajatan politik yang dia hadiri, Obama sering membawa serta istri dan kedua putrinya. Sejak saat menjadi senator hingga saat sibuk berkampanye untuk merebut kursi kepresidenan lalu.
Ketika saya berada Columbus menyaksikan kampanye Obama disana, yang pertama kali tampil malah Michelle, istri Obama. Baru setelah 15 menit memberi sambutan, Obama keluar bersama kedua putrinya, Malia dan Sasha. Malah dipasang pula foto bagaimana Michelle dan kedua putrinya duduk di belakang panggung sambil berbisik, sementara Obama di depan terlihat sedang berpidato dalam rangkaian kampanyenya beberapa waktu lalu.
Yang paling menarik perhatian adalah foto saat Obama dan John McCain --bekas pesaingnya sebagai calon presiden-- saat mereka masih sama-sama menjadi senator. Terlihat Obama sedang berbisik kepada McCain. Kita tahu, saat kampanye, bagaimana kemudian sengitnya pertarungan kedua tokoh ini. Saling serang. Tapi kini McCain harus mengakui kemenangan telak Obama. Malah harus disambut tangisan oleh para pendukung McCain ketika veteran perang Vietnam ini mengaku kalah.
Soal foto-fotonya ini, Pete mengaku sudah menghadiahkannya kepada Obama. “Saya sudah bertemu dia (Obama -red) baru-baru ini. Menghadiahkannya esay foto ini. Dan dia memberi tandatangan buku saya juga,” aku Pete senang. (Bersambung)

Cuaca Kalah Sama Obama (Obama Beats Weather)

Fri, Nov, 7, 2008



Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (12)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (12)

Muhammad Rusmadi


Cuaca Kalah Sama Obama
(Obama Beats Weather)


Mengawali pagi hari Rabu (5/11) lalu, buat saya rasanya ada yang berbeda disini, di kota kecil Athens, Ohio. Memang, pagi hari rasanya masih terasa dingin menusuk. Karena saat ini memang musim gugur. Tapi beberapa hari terakhir, ketika beranjak siang, cuacanya mulai menghangat. Sehingga meski kemana-mana saya selalu membawa jaket, sering tidak terpakai. Meski saya tetap butuh memakai baju berlapis dua.
Tapi umumnya orang-orang “sepakat”, beberapa hari ini suasananya indah. “It's a nice day, isn't it?” “Ya, it is”. Ya. Harinya indah. Ngomongin cuaca memang jadi basa-basi pembuka saya saat bertemu orang. Tapi mereka akan langsung lebih nyambung lagi bila diajak ngobrol soal Obama yang menang telak itu.
Di sebuah koran lokal garapan mahasiswa Ohio University (OU), The Post, ditulis sebuah headline besar 'Perubahan Sudah Datang di Amerika'. Change Has Come to America. Malah ditulis pula hasil perolehan Electoral College Obama yang luar biasa itu, Obama 349. McCain 148. Padahal untuk bisa menang, calon presiden (capres) hanya cukup mengantongi 270 suara. Tapi Obama jauh melampaui itu. Koran gratis ini diletakkan di sejumlah tempat, di pintu masuk toko-toko kecil, bar, hotel dan kampus.
Dua koran lainnya disini juga memuat headline yang sama. 'President Obama', tulis The Athens Messenger. Atau, 'America Makes Histroy. Obama Wins'. 'Amerika Bikin Sejarah. Obama Menang'. Di TV-TV juga semua liputan fokus pada kemenangan Obama ini. Meski di jaringan televisi Fox, sambutan kemenangan ini bernada sinis. Karena jaringan ini dari awal memang mendukung capres Republik, John McCain.
Salah satu bentuk “sambutan kemenangan ini misalnya dengan kembali menyoroti apakah Obama akan benar-benar mampu mengatasi berbagai masalah yang kini menghadang Amrik. Terutama, selalu soal-soal konflik Timur Tengah dan ancaman terorisme. Karena Obama dianggap masih terlalu hijau dan, tidak seperti McCain, sarat pengalaman di dunia militer.
Kubu Republik seakan tidak mau peduli, bahwa ini penting buat Amerika sebagai sebuah bangsa. Karena buat pertama kalinya sejak bangsa ini berdiri memiliki pemimpin dari kalangan keturunan Afrika-Amerika. Bahwa ini penting bagi bangsa lainnya di dunia untuk dijadikan pelajaran, Amerika memang punya yang namanya demokrasi.
Ketidakgembiraan yang sangat bisa dirasakan adalah ketika saya menemui Peter Couladis, Ketua Partai Republik di kota Athens sini. Rabu (5/11) pagi kemarin, saya memang janjian ketemuan dengan dia untuk ngobrol-ngobrol. Sengaja, waktunya diatur sehari setelah hari 'H' pencoblosan. Kalau Partai Republik menang, reaksinya pasti akan luar biasa, karena orang Republik ini pasti akan “berapi-api” karena bisa menang, sementara prediksi di hampir semua media, baik koran, televisi, media online menunjukkan hanya Obamalah yang bakal menang. Tapi kalau kalah, reaksinya sebenarnya saya juga sudah bisa tebak.
“Dia (Obama – red) itu kan cuma jago pidato. Tapi tidak mementingkan substansi,” cetus Peter, ditemui di gedung Scripps, Athens. Tapi Obama menurutnya beruntung, karena gara-gara kelihaiannya berorasi inilah yang membuatnya menarik perhatian banyak. Terutama anak-anak muda Amerika.
Misalnya soal istilah 'perubahan', lanjut Peter. Oya, ini mengingatkan saya pada Partai Demokrat-nya Presiden SBY. Apa yang dulu terjadi pada SBY, benar-benar mirip dengan Obama saat ini. Dari yang tidak diduga-duga naik, tapi lalu melejit luar biasa hingga memimpin di puncak. Kemiripan nama, sama-sama Partai Demokrat. Kesamaan simbol warna biru yang dipakai. Dan, jargon 'change' yang dibawa Obama, serta 'Berubah' yang dibawa SBY saat kampanye dulu. 'Change, We Can Believe in', atau 'Yes, We Can' adalah salah satu slogan Obama. Dan, 'Bersama Kita Bisa', adalah slogan kampanye SBY dulu. Bedanya yang pasti adalah, Obama orang sipil dan bertubuh kurus. Sementara SBY berlatar belakang militer –meski sudah pensiun-- dan berbadan gendut.
Nah, soal 'berubah' ini, menurut Peter adalah jargon yang kabur. Nggak jelas. Perubahan kemana? Dan Obama menurutya –masih dengan nada yang sulit menerima-- tidak pernah detil menjelaskannya.
Apalagi soal konflik Timur Tengah. Kasus Iran misalnya, “Ngapain juga kalau jelas-jelas negara ini sudah punya nuklir, tapi masih mau diajak bicara lagi?”, ketus Peter. Barat selama ini sudah meyakini secara bulat, Iran memang punya senjata nuklir dan bisa menjadi ancaman serius buat Israel, yang selama ini dianggap penting buat Barat karena Israel dianggap sebagai sebuah negara demokratis. “Saya yakin, karena bakal merasa tidak didukung Obama, Israel akan segera membom Iran,” tegasnya lagi.
Serangan kubu Republik memang bisa dirasakan, bahkan hingga hari-hari pencoblosan, Selasa (4/11) lalu. Di jaringan televisi CNN misalnya, hingga hari 'H' pencoblosan ini masih terus ditayangkan berulang-ulang iklan yang menyatakan, Obama sebagai sosok yang terlalu radikal dan terlalu berisiko untuk dipilih. 'Obama, too Risky, too radical'. Demikian antara lain bunyi iklan itu, dengan juga menayangkan bagaimana “hubungan baik” antara Obama dengan Pendeta Jeremiah Wright –yang berkulit hitam-- selama 20 tahun, yang dari khotbah-khotbahnya dianggap anti Amerika dan anti kulit putih.
Terlepas dari itu, bangsa Amerika sudah bersuara. Tak peduli apapun warna kulitnya, mayoritas warga Amerika sudah memilih. Presiden Amerika yang baru adalah Barack Hossein Obama. (Bersambung)

Ditaklukkan, Warga Ohio Berjingkrak (Ohio is Vanquished, People to Dance)

Thu, Nov, 6, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (11)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (11)

Muhammad Rusmadi

Ditaklukkan, Warga Ohio Berjingkrak
(Ohio is Vanquished, People to Dance)

Wajah Stan Griffith terus tersenyum gembira. Dia sibuk menelpon, memberitahukan rekan-rekannya, Ohio sudah ditaklukkan. Saat itu baru jam 21.30. Tapi layar penghitungan suara sudah menunjukkan, Demokrat sudah mengantongi 200 suara. Tapi kubu Republik baru mencapai 85 suara. “Kita taklukkan Ohio, Ohio!,” ungkapnya sambil terus mengumbar senyum.
Stan adalah peninjau Partai Demokrat dari Lexington, negara bagian Massachusetts. Malam itu (Selasa, 4/11) dia sengaja datang ke Athens, Ohio, berkumpul bersama di Markas Pemenangan Obama di State Court Street itu. Memang, Athens dianggap sudah tidak masalah buat para pendukung Obama. Tapi yang bikin para pendukung “partai biru” ini deg-degan, karena wilayah Athens sebenarnya dikepung oleh para pendukung Partai Republik. Tapi dengan ditaklukkannya negara bagian Ohio secara keseluruhan, mereka yakin kursi presiden Amrik bakal mudah direbut.
Tak heran, begitu angka suara untuk Demokrat melejit, emosi kegembiraan para pendukung Obama ini pun meledak. Mereka tak henti-hentinya tertawa, berjingkrak, berpelukan dan saling menghubungi rekan-rekan mereka lainnya. Via telepon, via email, atau blog.
Sebuah layar TV lebar via proyektor di tayangkan di sudut utama markas Obama ini. Di samping kanan layar tersebut terdapat tulisan besar 'Tadinya Kita Disini'. Di bawah tulisan itu ditempel foto dokumentasi berbagai kegiatan para pendukung Obama ini. Dan di sebelah kanannya ditempel juga tulisan besar 'Kita Akan Kesini'. Di bawahnya terdapat gambar gedung putih berukuran besar. “Kita akan kesini (Gedung Putih, kantor presiden Amrik -red),” ungkap mereka sambio menunjuk gambar gedung putih. Tempelan ini sudah mereka jauh-jauh hari. “Sekarang, kita sudah punya Presiden Obama,” ungkap Stan lagi, yang disambut tawa para aktivis Demokrat lainnya.
Para aktivis Demokrat ini nyaris semuanya anak muda. Umumnya juga mahasiswa. Mereka inilah yang sering saya lihat tiap hari sibuk berkampanye di pojok-pojok kampus mengingatkan rekan-rekan mereka untuk tidak lupa mencoblos. Tentu, dengan menggunakan lambang Demokrat dan foto-foto Obama.
Para pendukung Partai Demokrat ini juga berkumpul di sebuah restoran kecil, sekitar 50-an meter dari markas mereka. Sambil menikmati makanan, disini mereka juga menyaksikan penghitungan suara lewat televisi.
Acara memantau penghitungan suara melalui layar lebar ini juga digelar di pusat kegiatan mahasiswa Ohio University di gedung Baker Center, sekitar 100-an meter dari markas Obama. Disini mahasiswa yang menonton lebih banyak lagi. Di depan, dipasang dua layar TV besar. Sebelum acara dimulai, terlihat para mahasiswa berbaris mengantri makan malam gratis yang disediakan panitia penyelenggara. Acara ini digelar oleh organisasi mahasiswa OU, UPC, semacam senat mahasiswa. Lengkap dengan door-prize berhadiahnya segala.
Sementara suasana di depan kantor Board of Elections (BE, semacam KPU disini), antrian petugas yang membawa kertas suara kian memanjang. Jalanan State Court pun dipenuhi mobil petugas ini. Mereka datang dari tempat-tempat pemungutan suara (TPS) di seputar kota Athens.
Sebelumnya, petang itu suasana di beberapa TPS umumnya sudah sepi. Salah satunya di TPS gedung olahraga East Elementry, di kawasan Wallace Street. Para pencoblos yang datang bisa dihitung dengan jari. “Umumnya warga banyak yang sudah melakukan pencoblosan dini (early voting -red),” jelas petugas di TPS sini.
Tepat pukul 11.00 malam, stasiun televisi CNN sudah menyebutkan proyeksinya. Obama terpilih sebagai presiden. Sontak para mahasiswa yang umumnya para pendukung Obama ini berteriak histeris meluapkan kegembiraan mereka. “Obamaaa....!,” teriak mereka. Mereka sambil berpelukan. Suara mereka menggema ke seluruh Gedung Baker Center berlantai empat ini. Ya, meski baru ramalan, tapi akurasi jajak pendapat CNN ini dianggap sudah sangat akurat.
Mereka malah tak berpikir menunggu kepastian hasilnya akhirnya lagi. Mereka yakin, Obama sudah jadi presiden. Acara nonton bareng penghitungan suara ini pun bubar dengan sendirinya. Tapi mereka tidak pulang. Ada yang kembali bergabung ke bar-bar kecil di sekitar kampus, nonton bareng lagi.
Tepat jam 12.00 malam, tayangan-tayangan televisi pun sudah memastikan, Obama, presiden Amerika yang baru. Dan, Obama pun tampil. Ditayangkan langsung dari markas Obama di Grant Park, Chicago, terlihat Obama keluar untuk memberikan pidato kemenangannya. Tapi di Athens, Ohio, banyak pula yang tidak tahan berdiam di dalam dan memilih meluapkan kemenangan mereka dengan berlari-lari keluar. Inilah yang dilakukan sekitar 300-an mahasiswa OU. Mereka menerobos hawa dingin kota Athens dengan berkonvoi berkeliling di jalan-jalan kota Athens. (Bersambung)

Pizza Gratis Dari Obama (Free Pizza from Obama)

Wed, Nov, 5, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (10)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (10)

Muhammad Rusmadi

Pizza Gratis Dari Obama
(Free Pizza from Obama)

“Ayo, kita buat sejarah!”, ungkap Frank, pria Amerika yang saya temui saat sarapan di rumah makan Casa Nueva, di kota Athens, Ohio, pagi ini. Betul. Pagi ini, 4 November waktu Amerika (petang hari waktu Jakarta), warga Amerika akan mengukir sejarahnya. Menetukan siapa yang akan menjadi pemimpin mereka untuk empat tahun mendatang.
Tapi di tengah kota Athens, suasana malah sepi. Termasuk di depan kantor Board of Elections, semacam KPU-nya disini malah kosong. Karena umumnya hari warga bisa mencoblos di tempat-tempat pencoblosan yang sudah disediakan di sekitar tempat mereka tinggal. Malah, juga banyak yang sudah mencoblos lebih awal (early voting).
Pada pemilihan presiden (pilpres) Amrik kali ini, warga benar-benar dipermudah. Boleh melakukan pencoblosan dini. Apalagi karena pada hari 'H' pencoblosan seperti hari ini adalah hari kerja, tidak diliburkan. Jadi banyak yang merasa tidak bisa mencolos pada hari 'H' akhirnya mencoblos lebih awal.
Salah satunya yang dilakukan Sharon Case, sekretaris di Scripps College of Communication, Ohio University (OU). Hari ini dia sudah tidak perlu mengantri. Juga Jonathan Nelson, mahasiswa OU asal Chicago. Dia memilih mengantri untuk mencoblos kemarin, di Board of Elections, Athens, kemarin. “Karena saya mahasiswa disini saya tidak perlu mencoblos di Chicago,” aku mahasiswa yang juga sukarelawan kampanye Obama ini.
Menariknya, untuk wilayah Ohio, pada pilpres kali ini pencoblosan tidak menggunakan mesin seperti pada pilpres 2004 lalu. Jadi hanya menggunakan kertas suara biasa, dan melingkari nama calon dan asal partai yang tercantum di kertas tersebut. “Kita hanya melingkari nama. Kayak ujian,” aku Amanda Athenia (19 tahun), warga Amerika keturunan Indonesia.
Selain nama capres, juga dicantumkan nama-nama calon-calon Demokrat yang akan menduduki posisi-posisi legislatif. Mahasiswi yang baru pertamakali mencoblos ini malah mengaku tidak kenal dengan nama-nama lokal. “Tapi saya memilih yang wakil Demokrat. Siapapun namanya, pokoknya orang Demokrat aja,” akunya lagi.
Pencoblosan yang tidak menggunakan mesin ini, jelas Bob Stewart, pengajar di Scripss College of Communication, karena pengalaman pada pilpres lalu, mesin tak sedikit yang rusak. Sementara banyak pemilih yang sudah memasukkan suara mereka di mesin tersebut tidak bisa melakukan pemilihan ulang. Saat itu juga ada dugaan, mesin pemungutan suara sengaja dikurangi oleh penguasa dario kalangan Republik di wilayah Athens karena diperkirakan akan dimenangkan oleh kaum Demokrat.
Bahkan hingga hari ini, relawan yang umumnya mahasiswa masih agresif mengajak mahasiswa mencoblos. Pagi ini, di depan kampus OU, juga masih ada meja khusus bagi mereka yang mau melakukan pencoblosan. Lengkap dengan sejumlah stiker Obama yang akan mereka berikan cuma-cuma bagi siapa saja. Plus minuman gratis. Setiap orang yang lewat akan selalu disapa. “Anda sudah nyoblos, nggak?”
Kemarin, di depan gedung Court State yang bersebelahan dengan Board of Election, sukarelawan juga menggelar meja, membagi-bagikan stiker dan poster Obama. Malah, mereka juga membagikan pizza gratis. “Pizza gratis! Pizza gratis!,” teriak mereka menarik perhatian warga yang lewat. Ada yang mengambil poster. Ada juga yang cuma minta pizza.
Tapi tak sedikit juga warga yang sudah mencblos di Board of Election, lalu menikmati pizza gratis dari markas Obama ini di depan sebuah gereja, tak jauh dari situ. Sambil berjemur, karena kebetulan siang itu lumayan hangat suhunya, mereka ngobrol soal banyaknya warga yang kali ini bersemangat mencoblos, hingga soal harapan besar yang ditunggu dari sosok Obama.
Yang juga menarik, pada H-1 pencoblosan ini juga digelar demo kecil menuntut pemulangan tentara Amrik dari Irak. Uniknya, demo ini hanya digelar empat orang tua yang mereka sebenarnya sudah beken di Indonesia, Arthur Gish. “Tapi demo ini tidak ada hubungannya dengan pilpres ini,” aku Art, kepada Rakyat Merdeka. Karena aksi demo mereka, lanjutnya, memang rutin digelar tiap Senin.
Lepas dari itu, demo ini seakan juga secara tidak langsung “mengajak” warga untuk tidak mendukung McCain yang hanya akan melanjutkan pendudukan tentara Amerika di Irak.
Sementara susana di gedung Markas Pemenangan Obama tak jauh dari Board of Elections, susana terlihat sibuk. Tumpukan poster Obama masih terlihat di salah satu pojok kantor. Mereka yang bekerja disini umumnya relawan, Mulai dari hanya sekadar membagi-bagikan poster, menerima warga yang minta penjelasan tentang program-program lokal dari Partai Demokrat, hingga menghubungi warga via telepon untuk meyakinkan mereka tidak ketinggalan mencoblos.
So, siapa yang menang, Obama atau McCain? Kita tunggu....(Bersambung)

Wednesday, May 13, 2009

Mau Lihat Obama, Antri 1 Kilometer (To See Obama, Making Line 1 Kilometer)

Tue, Nov, 4, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (9)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (9)
Muhammad Rusmadi

Mau Lihat Obama, Antri 1 Kilometer
(To See Obama, Making Line 1 Kilometer)
Saat mengetahui Barack Obama akan datang ke negara bagian Ohio, terus terang saya senang sekali. Sejak berada di Boston dan bergerak ke Athens, kota kecil di negara bagian Ohio, inilah sebenarnya yang saya tunggu-tunggu. Obama ke Ohio. Sekali lagi, ini karena warga Amrik yang belum memutuskan akan memihak Obama atau McCain cukup tinggi disini. Istilahnya, wilayah swing state. Di Indonesia mungkin seperti massa mengambang (floating mass). Makanya jadi medan pertempuran kedua calon presiden (capres).
Sebenarnya capres bisa terjun ke enam wilayah yang berbeda dalam sehari. Apalagi hari-hari terakhir menjelang 4 November, hari pencoblosan ini. Jadwal yang saya pegang, Minggu (2/11) kemarin setidaknya di Ohio Obama misalnya akan berkeliling di kota-kota Columbus, Cleveland dan Cincinnati. Karena saya tinggal di Athens, saya memilih Columbus. Selain dekat, hanya sekitar 1,5 jam naik mobil, juga karena Columbus adalah ibukota negara bagian Ohio. Sebenarnya kota yang paling banyak penduduknya adalah justru Cleveland. Rekan saya di Jakarta malah juga menyarankan kesini, karena ada konser musik rocknya segala, bersama Bruce Springsteen. Namun cukup jauh, sekitar empat jam. Sementara transportasinya kemungkinan bakal rada susah untuk balik ke Athens karena malam hari. Soalnya Obama di Cleveland berkampanye sekitar jam 16.00.
Saya beruntung karena ada mahasiswa S3 asal Indonesia di Ohio University (OU) yang Minggu itu akan berangkat ke Columbus bawa mobil sendiri –yang bersangkutan menolak disebut identitasnya. Dan saya diajak gabung bersama keluarganya yang kebetulan juga ingin menyaksikan kampanye Obama dari dekat. Pak Yani –sebut saja demikian namanya—menjemput saya pukul 09.00 pagi, dengan harapan kami bisa tiba sekitar 30 menit sebelum gerbang lokasi kampanye dibuka pada pukul 11.00 pagi, di halaman Ohio Statehouse –semacam kantor gubernur, kawasan Genoa Park, Columbus.
Pak Yani sudah sekitar 15 tahun tinggal di Amerika. Dia mengaku mendapat beasiswa dari Amerika. Karena anaknya yang sakit dan harus dirawat untuk waktu lama di Columbus, Pak Yani akhirnya “terdampar” disini. Saking lamanya, malah anak-anak Pak Yani yang ada lima orang itu semuanya tak ada yang bisa berbahasa Indonesia.
Melaju di jalanan tol ke arah Columbus, banyak terlihat mobil-mobil berstiker Obama. “Mereka kayaknya pengen gabung acara kampanye tuh,” celetuk Pak Yani.
Kami tiba sesuai jadwal, sekitar 10.30-an pagi. Memasuki kota Columbus, suasana masih lengang. Saya senang, berarti bisa ngambil tempat dekat tempat orasi, pikir saya. Karena ada keperluan lain, Pak Yani tidak ikut, dan saya hanya bersama istri dan kedua anaknya yang saya turun mencari pintu masuk lokasi kampanye. Lokasinya sebenarnya di halaman, di tempat terbuka, tapi di batasi gerbang masuk. Gerbangnya berlapis tiga.
Mendekati gerbang, sudah terlihat antrian. Yah, saya juga sebenarnya sudah dengar pengantri sudah berbaris sekitar empat jam sejak sebelum dibukanya gerbang pada pukul 11.00. Tapi saya lihat antrian belum begitu panjang. Saya berusaha mencari ujung belakang antrian di balik gedung. Astagaaa…!!! Ternyata saya tidak bisa mencari ujung belakang antrian ini. Saya berputar-putar blok gedung, berbelok, kiri, kanan, menyeberang jalan dan lampu lintas, setengah berlari, tapi tidak ketemu-ketemu.
Saya pun lalu terpisah dengan keluarga Pak Yani. Anyway. Saya sempat berpikir bagaimana nantinya ketemu kembali dengan mereka di tengah ribuan massa –media setempat memprediksi massa sekitar 60.000 orang— karena saya lupa mencatat nomor kontak mereka. Tapi saya kemudian melupakan itu karena terus berusaha mencari ujung antrian dengan berputar-putar blok gedung-gedung disana.
Terus berputar-putar. Akhirnya seorang sukarelawan memberitahu ujungnya. Ampun!!! Mungkin antrian ini panjangnya satu kilometer. Mungkin lebih. Itu pun tidak satu-satu. Pengantri sekitar tiga orang berjejer ke samping.
Apa boleh buat, saya harus rela bergabung pengantri. Bukan saya saja yang terkaget-kaget melihat panjangnya antrian ini. Sejumlah keluarga Amrik yang datang pun, lengkap dengan atribut Obama, geleng-geleng kepala sendiri. Tapi mereka tampak juga senang, karena artinya pendukung Obama memang luarbiasa membludak. (Bersambung)

Laporan Wartawan Rakyat Merdeka, Muhammad Rusmadi Dari Amerika Serikat
Truk McCain Terobos Massa Obama
Melihat warga yang antri, macam-macam tingkah mereka menunjukkan dukungannya. Mulai menggunakan atribut-atribut Obama berupa pin, bros, topi, kaos, banner. Malah ada yang tampil sebagai ‘John Si Tukang Listrik’. Kubu McCain belakangan menggaet Joe Si Tukang Ledeng, simbol warga Amrik yang ‘gagal menjadi kaya’ karena harus “membagi” hartanya kepada warga Amrik lainnya lewat kebijakan kenaikan pajak yang akan diterapkan Obama. Percakapan spontannya dengan Obama terekam media TV. Joe mendadak terkenal setelah dalam kampanye Obama dia mengaku tidak suka dengan kebijakan itu, hingga akhirnya digaet McCain dalam beberapa kampanyenya untuk menyerang Obama.
Saat sedang asyik ngantri, tiba-tiba terdengar suara ramai orang meneriakkan Obama. Ternyata mereka meneriaki sebuah bus pendukung JohnMcCain yang berputar di jalan sekitar antrian. Menantang sekali, manas-manasin. “Berani sekali orang ini,” pikir saya. Apalagi, dia hanya sendirian.
Di samping lambung mobilnya tertulis besar McCain-Palin. Sementara di pintu masuk tertulis ‘Demokrat Mendukung McCain’. Setiap barisan antrian yang dilewati mobil ini terus menyoraki. Malah ada yang menimpuk, meski bukan dengan benda keras. Tapi umumnya pendukung Obama hanya menyoraki sambil tertawa-tawa. Ada yang membalikkan jempol tangan mereka.
Tiap kali disoraki, si pengendara hanya mengacung-acungkan sebuah buku tebal, sepertinya Kitab Bible, Injil. Memang, Partai Republik selama ini juga dianggap sebagai partai yang agamis (Kristen), anti aborsi, anti pernikahan sejenis, dan menolak nilai-nilai kebebasan lainnya yang selama ini diwakili kaum Demokrat. Malah Sarah Palin sering menggunakan istilah-istilah Injil dalam pidatonya, yang ditolak mentah-mentah kaum Demokrat. Karena kaum Demokrat memandang agama sebagai urusan pribadi.
Dan mobil tadi, terus berputar beberapa kali, tanpa takut diserang pendukung Obama. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ini di Indonesia. Minimal mobil ini bakal bonyok dihajar massa yang emosi, atau orangnya babak-belur digebuki. Tapi si pengendara yang lumayan gendut dan berjas tanpa dasi itu toh aman disini. “Hebat,” gumam saya.
Setelah sekitar satu jam antri, saya sudah mendekati gerbang masuk Statehouse. Terlihat petugas menggeledah barang-barang bawaan peserta kampanye. Tas punggung dilarang masuk. Lokasi kampanye persis di halaman gedung Statehouse, di halaman terbuka. Di sekitar Statehouse, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit.
Saya lalu berpikir, di balik pucuk-pucuk gedung itu pasti ada para sniper (penembak jitu) yang sudah siaga, baik yang bisa terlihat atau tidak, karena di dalam gedung. Betul. Persis di atap kanan Statehouse, tampak tiga sniper bersiaga. Mereka tampak terus memantau massa dengan teropong, baik yang double maupun jenis single model pelaut jaman dulu itu. Di samping mereka, terlihat jelas sebuah senapan spesial sniper berukuran panjang.
Mendekati gerbang, ternyata di dalam di lapisan pertama ini massa sudah benar-benar penuh sesak, sehingga gerbang pertama pun akhirnya dibuka. Saya ikut menerobos lari. Tapi, waduh! Mandeg. Penuh. Maju mundur, susah. Setidaknya 60.000-an massa hari itu pendukung Obama tumplek di halaman Statehouse hingga jalan-jalan raya.
Diisi pidato-pidato singkat oleh tokoh-tokoh lokal Partai Demokrat dan lagu-lagu selingan, pukul 13.15 Michele Obama, istri Barack Obama keluar. Riuh tepuk tangan, teriakan ‘Obama!’ menggema. Michele keluar sendirian. Setelah sekitar 10-an menit bicara, Obama pun keluar. Suasana makin gemuruh. Yel-yel ‘Yes, We Can!’ serentak teratur digemakan. Anak-anak muda, orang tua, kulit putih, hitam, menyatu kompak bersorak semangat.
Setiap kali serangan Obama terhadap McCain, saingannya terdengar, gemuruh tepuk tangan pun kembali menggema. “Saya tidak khawatir kalah seperti McCain. Saya justru khawatir memikirkan nasib rumah dan pekerjaan Anda semua,” tegas Obama, menyangkut ekonomi Amrik yang kini sedang babak belur.
Termasuk soal perang Irak yang tak berkesudahan yang dia juga kritik. “Kita tidak butuh pemimpin besar yang dikagumi. Tapi pemimpin yang pintar,” tegasnya lagi. Termasuk nasib para tentara Amrik yang kini banyak jadi sasaran empuk di Irak. Obama mengaku akan membuat mereka aman dan meningkat kesejahteraannya. (Bersambung)

Banyak Kutu Loncat Di Pilpres Amrik (There Are A Lot of Adventurers in US Election)

Mon, Nov, 3, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (8)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (8)

Muhammad Rusmadi


Banyak Kutu Loncat Di Pilpres Amrik
(There Are A Lot of Adventurers in US Election)


Wajahnya John –bukan nama sebenarnya-- rada gelagapan saat saya mengajukan beberapa pertanyaan seputar kegiatan para relawan di Markas Pemenangan McCain (McCain Headquarter Victory) di kawasan Tremont, Boston. Dia mengaku tidak bisa bicara sembarangan dalam memberikan informasi. Terutama apa-apa saja yang dilakukan para relawan kubu Republik dan pendukung capres Amrik, John McCain ini. Namun setelah diberitahu bahwa saya adalah wartawan Indonesia, barulah John mau bicara.
Salah satu tugasnya, aku John, adalah menghubungi warga Boston via telepon agar mereka nantinya menjatuhkan pilihannya kepada Republik. Menariknya, John sebenarnya adalah anggota Partai Demokrat. Namun pada pilpres kali ini dia malah mendukung John McCain.
Tentu, dia mengaku pindah mendukung McCain karena merasa lebih cocok dengan program-program yang ditawarkannya. Bukan karena dia seorang yang bekulit putih sehingga tidak memilih Obama yang Afro-Amerika. Namun sebenarnya, menurut Dr. J. Gregory Payne, Associate Professor Studi Komunikasi di Emerson College, Boston, banyak pula yang meninggalkan Obama hanya gara-gara dia bukan orang kulit putih
Inilah salah satu yang menarik pada pemilihan presiden (pilpres) Amrik kali ini. Tentang para pembelot alias kutu loncat di kalangan pemilih. Baik dari kalangan Demokrat yang akhirnya malah mendukung kubu Republik, maupun sebaliknya.
Berbicara soal pengkhianatan ini, bisa disebut kasus ketika Tom Bradley “dikhianati” oleh warga California ketika dia akan mencalonkan diri sebagai gubernur California pada 1982. Dia adalah calon Afro Amerika yang terus memimpin pada setiap jajak pendapat yang muncul, sehingga diunggulkan sebagai calon gubenur saat itu. Tapi begitu hasil pemilihan diumumkan, Bradley justru kalah. “Ini karena warga berbohong pada setiap jajak pendapat bahwa mereka mendukung Bradley saat itu. Tapi saat mencoblos, mereka malah memilih calon lain,” jelas Payne.
Inilah yang saat ini masih dikhawatirkan para pendukung Barack Obama dan Partai Demokrat. “Kami rada deg-degan,” kata David Israels, seorang kulit putih warga Shannon Avenue, Athens, Ohio, kepada Rakyat Merdeka. David adalah warga kulit putih yang pro Obama. Saat ditemui, bersama keluarga besar dan para tetangganya, David sedang merayakan Halloween. Namun dia malah memasang tiga bros Obama di topi dan bajunya. Plus satu banner kecil dukungan untuk Obama tertancap di halaman rumahnya.
Tak cuma itu, kemungkinan karena para pendukung Hillary Clinton yang kecewa setelah dikalahkan Obama menjadi capres Partai Demokrat pun juga ada. Meski demikian, hal ini buru-buru ditepis Carole Simpson. Carole adalah salah satu pendukung berat Hillary saat masih digadang-gadang menjadi satu-satunya capres perempuan Demokrat, meski akhirnya ditalukkan Obama.
Carole pernah menjadi wartawan ABC selama 24 tahun ini. Perempuan Afro-Amerika ini juga pernah meraih anugerah Emmy-Award sebanyak tiga kali. Kini, dia menjadi Leader in Residence di Emerson College, Boston. Secara berkala, dia juga menjadi analis politik pada acara talk show 'Larry King Live' di CNN. “Bekas para pendukung Hillary akan lebih memilih Obama, karena tidak suka dengan Sarah Palin, sebagai cawapres McCain,” tegas perempuan yang selalu ceria.
Di kalangan kaum Demokrat dan warga Amrik yang belum memutuskan siapa yang akan dipilih, Palin sering dijadikan bahan ejekan karena dianggap belum pantas menjadi wakil presiden Amrik. Terutama karena wawasannya yang masih dianggap dangkal. Ini beda jauh dengan kapabilitas Joe Biden, cawapres Obama. Apalagi bila melihat sisi kesiapan Joe menggantikan Obama dalam kondisi darurat misalnya –satu hal yang harus dimiliki seorang wapres, bila hal buruk sewaktu-waktu bisa menimpa Obama. Karena sisi keselamatan Obama saat ini juga menjadi perhatian serius.
Tapi yang juga menarik, kawasan-kawasan yang dulunya dikenal sebagai 'wilayah merah' (basis Republik), kini juga tak sedikit berubah menjadi 'wilayah biru' (Demokrat).
Dan, sebagai salah satu upaya McCain yang kini terus berupaya merebut suara pemilih adalah dengan mengajak Joe Si Tukang Ledeng (Joe the Plumber) berkampanye ke beberapa tempat. Samuel Joseph Wurzelbacher, adalah tukang ledeng yang mendadak terkenal setelah dia berbicara singkat dengan Obama saat berkampanye di Ohio. Yakni menyangkut rencana kenaikan pajak bila Obama terpilih nanti, yang dianggap memberatkan pengusaha kecil seperti dirinya. Kini, McCain memanfaatkan Joe dalam beberapa tur kampanyenya. Joe menjadi bintang di kampanye McCain untuk merebut hati warga Amrik dari kalangan ekonomi kecil. (Bersambung)

Saya Ditawari Nyoblos Obama (I’m Offered to Vote for Obama)

Sun, Nov, 2, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (7)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (7)

Muhammad Rusmadi

Saya Ditawari Nyoblos Obama
(I’m Offered to Vote for Obama)


Menjelang hari-hari pemilihan presiden (pilpres) 4 November ini, pertarungan kedua calon presiden Amrik, Barack Obama dan John McCain makin sengit. Tak cuma itu, para sukarelawan pun kian gigih mengajak warga untuk nyoblos.
Ya, pada pilpres kali ini warga Amrik memang sangat antusias nyoblos. Termasuk dengan banyaknya banner kedua capres yang bisa dilihat dimana-mana. “Di pilpres sebelumnya, Anda tidak bisa melihat suasana seperti ini,” aku Elizabeth Dunn, muslimah Amerika yang saya temui di kawasan Roxbury, Boston, negara bagian Massachusetts.
Juga para sukarelawan yang bergerak turun ke jalanan. Mereka umumnya adalah anak-anak muda. Di pusat kota Boston, di sekitar taman kota Boston Common saya beberapa kali bertemu sukarelawan ini. Meski hawa dingin, mereka berdiri di pinggir jalan sambil menyapa para pejalan kaki yang lewat. Saya juga termasuk yang dihampiri untuk diminta nomor kontak. Maksudnya, mereka akan memastikan, pada 4 November nanti akan nyoblos. Namun saya kasih tahu, saya bukan warga Amerika, tapi wartawan Indonesia yang sedang meliput.
Mereka kaget. “O, berarti Anda nggak nyoblos dong ya,” kata mereka sembari minta maaf. Mereka adalah sukarelawan Obama, Demokrat. Ini terlihat jelas dari kaos biru dan lambang Partai Demokrat yang mereka kenakan. Obrolan singkat tentang Obama yang pernah tinggal di Indonesia pun terjadi. Karena tak ingin mengganggu mereka, saya segera pergi.
Juga saat akan mengunjungi Harvard University. Di tempat menunggu kereta bawah tanah (subway), di kawasan Park Street, juga ada empat sukarelawan yang menyapa setiap calon penumpang subway. Lagi-lagi, mereka ini adalah sukarelawan Demokrat. Namun mereka – menolak memberi identitas karena merupakan peraturan sukarelawan-- menyatakan tidak mengarahkan pemilih untuk memilih siapa nantinya, apakah Obama atau McCain. Namun lebih berupaya mememastika warga untuk nyoblos pada 4 November nanti.
Sukarelawan lainnya juga saya temui di salah satu pojok kampus Ohio University (OU) di kota Athens, negara bagian Ohio. Disini, umumnya sukarelawannya adalah para mahasiswi kulit hitam yang, bisa diduga kuat adalah para pendukung Obama. Meski demikian, menurut salah satu sukarelawan ini, Alyssa Green (21 tahun), mereka hanya ingin memastikan rekan-rekan mereka juga nyoblos. Tidak mengarahkan pilihan rekan-rekan mereka.
Untuk itu, mereka tidak mengenakan simbol-simbol partai tertentu. Ini beda dengan sukrelawan di Boston yang sebelumnya saya temui. Di meja yang mereka gunaka, juga tampak tulisan di karton, “I pledge to vote!!”, “Sumpah, saya akan nyoblos!!”. “Perhari, kami bisa mendapat tandatangan kesediaan mencoblos sedikitnya lima orang,” aku Alyssa.
Sementara di pojok kampus OU lainnya, juga tampak sukarelawan yang mengajak mahasiswa memilih capres yang hanya punya program yang berpihak pada penggunaan energi ramah lingkungan. Untuk itu, mereka membentangkan spanduk hijau di depan meja dan mengajak para mahasiswa lainnya menandatangani selembar kertas dan memberikan nomor atau alamat yang bisa dihubungi.
Tapi diakui Emily Grannis, mahasiswi OU yang juga wartawan suratkabar OU, The Post, para sukarelawan di kampus ini umumnya memang pro Obama. Dan mereka sangat agresif bergerak, sekaligus juga efektif. Terbukti, “ Pendukung Obama umumnya memang anak-anak muda,” tegas John Della Volve, Director of Polling di Institute of Politics, John F. Kennedy School of Government di Cambrigde.
Sementara itu, para capres, baik Obama maupun McCain makin gigih saling serang. Berbagai jurus akhir memojokkan saingan dikeluarkan. Salah satunya yang bisa dilihat pada setiap acara talk show seperti di TV Fox misalnya. TV ini selalu berusaha memojokkan Obama. Terakhir adalah tentang isu keterkaitan Obama dengan aktivis yang pro PLO, Organisasi Pembebasan Palestina, Rashid Khalidi. Dia adalah profesor di University of Chicago, Illinois.
Di Amerika, kedekatan hubungan dengan aktivis Palestina atau yang pro dengan mereka, bisa diartikan sebagai anti Israel atau anti Yahudi dan ini bisa dianggap sebagai “dosa politik”. Karena kaum Yahudi dan Israel selama ini dianggap sebagai sahabat baik bangsa Amerika karena juga dianggap punya peran besar dalam kehidupan bernegara di Amerika. Apalagi selama ini kaum Yahudi dianggap sebagai kaum tertindas dan dikejar-kejar dalam tragedi Holocaust (pembantain massal) oleh kaum rasis Nazi Jerman saat Perang Dunia II dulu.
Ini juga bisa diartikan, memiliki hubungan dengan para akivis Palestina, besar kemungkinan akan membahayakan bangsa Amerika secara umum, anti kemanusiaan, atau bahkan pro teroris, karena selama ini pejuang Palestina, khususnya kelompok HAMAS lebih memilih jalan kekerasan ketimbang jalan diplomasi. Bisa ditebak, isu ini bakal bisa menusuk Obama.
Saat berada di sebuah rumah makan fast food di New Hampshire, tayangan ini muncul di TV. Seorang perempunan berambut pirang setengah baya memperhatikan tayangan tersebut begitu serius.
Ketika diundang dadakan menjadi pembicara dalam diskusi semi formal di Southeast Asian Studies, Center for International Studies, Ohio Universty, hal ini berusaha sebisanya saya jelaskan. Bahwa selama ini tak sedikit bangsa Indonesia yang khawatir, bila McCain terpilih, justru akan menerapkan kebijakan Timur Tengahnya yang lebih cenderung pro perang. Karena sebagai capres Republik, McCain diduga kuat akan melanjutkan kebijakan Bush di Timur Tengah saat ini. Bukan jalan-jalan damai seperti yang diharapkan bisa terjadi bila Obama yang terpilih.
Juga soal pandangan warga Indonesia yang sering sulit memisahkan, karena gara-gara kebijakan internasional Bush (pemerintahan, negara) di Timur Tengah yang pro perang misalnya, banyak warga Indonesia yang mengira, ini adalah pandangan warga Amerika secara umum. Padahal sesungguhnya banyak juga warga Amerika yang benci kebijakannya ini, dan membenci Bush. (Bersambung)

Tahu Saya Dari Indonesia Warga Ohio Kaget (When They Know I’m from Indonesia Ohio People Are Surprised)

Sat, Nov, 1, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (6)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (6)

Muhammad Rusmadi

Tahu Saya Dari Indonesia
Warga Ohio Kaget

(When They Know I’m from Indonesia
Ohio People Are Surprised)

Ini adalah hari kedua saya berada di kota Athens, kota kecil (town) di negara bagian Ohio. Kenapa ke Ohio, karena wilayah ini termasuk salah satu kota yang disebut sebagai Swing State. Maksudnya, wilayah yang kekuatannya tidak terbaca apakah akan lebih pro kepada Barack Obama atau John McCain. Jadi merupakan daerah pertempuran (battleground). Makanya, kedua calon presiden (capres) Amrik ini kini sedang berjuang memperebutkan suara di wilayah ini.
Saat di Boston, saya sudah diberi tahu tentang gambaran kota ini. Dan benar. Saat memasuki kota, wilayah ini memang lebih didominasi kampus, Ohio University (OU). Dan, karena seorang wartawan, saya diberi tahu, sekolah jurnalistik disini adalah salah satu yang terbaik di Amerika Serikat. Bahkan mengalahkan Harvard University di Boston yang dikenal sebagai kampus prestisius itu untuk studi jurnalistik.
Melihat bangunan OU yang begitu mendominasi kota, saya mencoba membandingkannya dengan Jogja. Ya, mirip. Tapi memang lalu lintasnya tak separah Jogja. Suasananya disini lengang. Kemana-mana bisa hanya berjalan kaki, seperti juga di pusat kota Boston. Namun di Boston karena kotanya yang lebih besar (city), tersedia juga angkutan umum seperti taksi, bis dan kareta bawah tanah (subway). Sementara disini tidak ada.
Herannya, saat memasuki kota Athens saya tidak melihat sama sekali spanduk-spanduk atau banner kampanye kedua capres yang kini sedang bertarung. Belakangan saya tahu, karena sebenarnya wilayah Athens adalah 'kawasan biru', dikuasai pendukung Partai Demokrat alias pro Obama. Juga karena Athens nyaris menyatu dengan kampus OU dan umumnya warga disini adalah kaum liberal. Tapi agak keluar kota Athens, tidak sedikit juga yang pro Partai Republik.
Kamis (31/10) sore, saya punya waktu senggang berjalan-jalan ke pinggiran kota Athens. Menurut Mary T. Rogus, Associate Professor di Sripps College of Communication Ohio University, di kawasan East State Street saya akan bisa menyaksikan banyak banner kampanye. Saya berjalan kesana. Lumayan juga. Dari penginapan saya di kawasan Richland Avenue, butuh waktu sekitar 30 menit. Karena kondisi jalannya yang rada berbukit, plus hawa dingin musim gugur yang lumayan menusuk.
Kawasan East State Street adalah pinggiran pusat kota Athens. Memasuki kawasan ini, mulai terlihat banner-banner kecil dukungan terhadap capres yang ditancapkan di depan baik kantor maupun rumah warga. Dan benar juga, kawasan ini didominasi kaum Demokrat yang pro Obama. Saya hanya menemukan dua banner yang berisi dukungan kepada pasangan John McCain-Sarah Palin. Tidak seperti di Indonesia yang jor-joran dengan spanduk atau banner yang berukuran raksasa, disini ukurannya kecil-kecil.
Saya terus menyusuri East State, memasuki ke jalan-jalan yang berbukit di kawasan Lincoln St, lalu ke Mapplewood. Rumah-rumah disini umumnya dibuat dari kayu, papan. Satu ketika pas di Kanada –yang umumnya perumahannya mirip dengan disini, Eropa dan kawasan yang memiliki empat musim lainnya, saya sempat melihat sebuah rumah yang sedang dibangun, dindingnya dibikin tebal, berlapis. Di antaranya lapisan alumunium foil, juga semacam kapuk atau busa tebal. Mungkin untuk melindungi dari cuaca yang memang sering ekstrim disini.
Bila di kawasan East State sepi –umumnya orang tidak suka nongkrong di luar karena hawanya lumayan dingin, di kawasan Mapplewood susananya rada ramai. Mungkin ada sekitar 200-an warga dengan keluarga mereka terlihat ramai di jalanan di depan perumahan mereka. Ya, saat ini adalah momen perayaan Halloween. Warga pun keluar dengan kostum yang diusahakan unik dan terkesan seram.
Halloween atau Hallowe’en adalah tradisi perayaan malam tanggal 31 Oktober, dan terutama dirayakan di Amerika Serikat. Tradisi ini berasal dari Irlandia, dan dibawa oleh orang Irlandia yang pindah ke Amerika Utara. Halloween dirayakan anak-anak dengan memakai kostum seram, dan berkeliling dari pintu ke pintu rumah tetangga meminta permen atau cokelat sambil berkata "Trick or treat!" Ucapan tersebut adalah semacam "ancaman" yang berarti "Beri kami (permen) atau kami jahili."
Sekarang, anak-anak biasanya tidak lagi menjahili rumah orang yang tidak memberi apa-apa. Sebagian anak-anak masih menjahili rumah orang yang pelit dengan cara menghiasi pohon di depan rumah mereka dengan tisu toilet atau menulisi jendela dengan sabun. Halloween identik dengan setan, penyihir hantu goblin dan makhluk-makhluk menyeramkan dari kebudayaan Barat. Halloween disambut dengan menghias rumah dan pusat perbelanjaan dengan simbol-simbol Halloween.
Di kawasan Mapplewood, sejumlah keluarga dengan anak-anak mereka keluar menghampiri rumah-rumah tetangga. Sementara yang punya rumah umumnya duduk di depan pintu rumah mereka menunggu anak-anak yang datang meminta permen. Mereka umumnya ramah, menyapa dan melempar senyum kepada saya. Dan, lagi, di depan rumah warga sini tertancap banner-banner kecil dukungan untuk Obama.
Di Shannon Avenue, susananya lebih meriah lagi. Udara dingin tak mereka hiraukan. Perhatian saya tertuju pada pasangan suami istri David Israels (56), yang duduk di tangga rumah bersama keluarga besar mereka. Di topi dan bajunya tampak tiga bros Obama. Di depan rumahnya juga tertancap satu banner kecil warna hijau bertulis Obama-Biden (Joe Biden, cawapres Obama).
Saat saya kasih tahu saya dari Indonesia, mereka kaget. Karena mereka juga tahu Obama pernah tinggal di Indonesia. Namun, meski hingga kini Obama terus memimpin di setiap jajak pendapat, keluarga ini mengaku masih belum tenang. “Terus terang, kami masih rada gugup kalau-kalau Obama kalah,” aku David yang sudah pensiun dari profesinya sebagai sopir ini. (Bersambung)

“Osama” Buat Ngelap Kotoran (“Osama” to Wipe Dirt)

Fri, Oct. 31, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (5)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (5)

Muhammad Rusmadi

“Osama” Buat Ngelap Kotoran
(“Osama” to Wipe Dirt)


Pukul 05.30 pagi waktu Boston atau sekitar pukul 04.30 sore waktu Jakarta, saya harus meninggalkan Boston menuju bandara Manchester, di negara bagian New Hampshire. Tujuan akhir saya sebenarnya adalah ke Athens, sebuah kota kecil di negara bagian Ohio. Untuk mencapai kota ini, saya harus ke New Hampshire, sekitar 1,5 jam perjalanan naik mobil, lalu terbang sekitar satu jam ke Baltimore, Washington. Di Baltimore, saya transit beberapa jam, lalu terbang lagi ke kota Columbus, Ohio, untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan naik mobil sekitar 1,5 jam.
Pagi-pagi sekali, saya dijemput Dr. J. Gregory Payne, dari Emmerson College untuk diantar ke bandara Manchester di New Hampshire. Boston masih gelap. Udara dingin menusuk. Namun memasuki New Hampshire, hari mulai terang. Daun-daun pepohonan yang kami lalui terlihat indah sekali, berwarna warni dari hijau, lalu berubah, kuning, merah, hingga cokelat. Seperti lukisan. Ini memang keindahan yang hanya bisa didapat di musim gugur seperti sekarang. Akhirnya, kami tiba di Manchester tepat waktu.
Bandara Manchester adalah bandara kecil dan bisa dibilang sepi. Tapi pemeriksaan memasuki bandara rupanya sudah standar di bandara manapun di Amerika. Seperti saat memasuki kota pertama di Amrik, semua barang bawaan ke pesawat harus masuk mesin scanning. Karena tidak menduga akan kembali mengalami pemeriksaan seperti ini, malam sebelum berangkat meninggalkan Boston saya tidak mempersiapkan sepenuhnya barang bawaan saya. Termasuk barang-barang cair yang dilarang keras masuk pesawat. Terutama yang berukuran di atas 100 mililiter.
Karena lupa, saya memasukkan gel rambut ukuran jumbo ke tas kecil yang saya bawa ke pesawat. Bisa ditebak. Masalah. Setelah kedapatan membawa gel besar ini, petugas pun memanggil saya, termasuk kembali menggeledah tas lapotop saya yang tadinya sebenarnya sudah lolos. Waduh. Ternyata si petugas dengan rada melolotot mengeluarkan segumpalan kabel dari kantong samping tas laptop saya.
Malam menjelang meninggalkan Boston, saya memang tak punya banyak waktu untuk packing dan merapihkan barang-barang saya, mana yang harus masuk bagasi, mana yang masuk tas jinjing ke pesawat. Karena sehari menjelang keberangkatan, acara orientasi kami para wartawan Indonesiayang akan meliput pilpres Amrik di Emerson College masih padat hingga malam hari. Sementara pagi-pagi sekali, sekitar pukul 03.00 dinihari waktu Boston saya biasanya harus bangun untuk mengejar deadline tulisan, karena menyesuaikan waktu dengan Jakarta yang beda sekitar 12 jam-an.
Akhirnya, masuklah gel rambut jumbo ini ke tas hand-carry. Ditambah gumpalan kabel laptop, charger, telepon dan sejumlah kabel lainnya di tas laptop. Semerawut sekali memang. Si petugas pertama tampak sedikit berusaha mengurai-urai gumpalan kabel saya itu dengan sedikit mengernyitkan kening.
Saya pun digeledah berlapis oleh dua petugas. Meski demikian, mereka tetap ramah, sambil meminta maaf karena harus menggeledah seluruh wilayah badan saya. “Anda nggak suka geli, kan?” tanya si petugas di pemeriksaan kedua pada saya. Mau apalagi? “It's OK. No problem,” saya bilang.
Pesawat lokal, Southwest Airlines tepat waktu. Dari proses boarding pass, hingga take off. Di penerbangan ini juga rada menarik buat saya. Kru pesawat, terlihat lebih santai dibanding pramugari di Indonesia, misalnya. Pertama, meski di tiket boarding pass tertera nomor tempat duduk, ternyata di dalam pesawat tidak berlaku, bebas memilih dimana saja kita mau duduk. Tentu, yang antrian awal lah sesungguhnya yang bebas, karena yang belakangan berarti hanya mendapatkan sisanya. Tapi penyandang cacat dan mereka yang membawa anak keci didahulukan masuk pesawat.
Pramugari, pakaiannya santai. Juga yang prianya malah hanya bercelana lutut. Di Indonesia, umumnya pramugari kita ber-make up (baca; rada bersolek), lengkap dengan lenggang lenggoknya segala. Malah ada maskapai regional Indonesia yang mendandani pramugarinya rada seksi.
Selain itu, meski penerbangan jarak pendek, di Southwest penumpang akan tetap mendapat minuman. Tapi ini hanya buat mereka yang memesan. Kecuali snack, berupa kacang yang dibagikan kepada semua penumpang. Jadi tidak semuanya diberikan, meski tidak memesan. Untuk itu, si pramugari saat sudah terbang menghampiri penumpang satu demi satu menawarkan minuman. Saat di penerbangan pertama sebelum transit di Baltimore, saya menolak tawaran. Selain merasa tidak haus, sebenarnya juga karena saya kira penumpang harus membayar. Sementara untuk bertanya apakah ini minuman gratis, rada malu juga.
Belakangan di penerbangan kedua dari Baltimore ke Columbus, saya baru tahu dari orang yang duduk dekat saya, bahwa minuman tersebut adalah cuma-cuma. Well...he he he...
Saat transit sekitar empat jam di Baltimore inilah saya melihat Osama. Ya. Osama bin Laden. Musuh besar Amerika yang memicu invasi pasukan Abang Sam ke Afghanistan ini dengan antengnya aman nongkrong di pojok bandara internasional Baltimore, Washington. Bukannya takut, saya hanya berusaha menahan tawa karena geli. Karena Osama yang berwujud poster dengan sorban dan jenggotnya yang terkenal itu berada di tisu toilet. Osama di Amrik buat mengelap kotoran! Saya senyam-senyum menahan tawa. Di rak pojok, Osama “dikepung” oleh FBI, Pasukan Kusus Amrik, dan berbagai kekuatan militer dan kepolisian AS. Tentu, semuanya berwujud suvenir, gantungan kunci, topi, kaos serta berbagai suvenir khas Amrik lainnya. Termasuk berbagai suvenir serupa yang bergambar Obama dan John McCain. Toko suvenir 'America!' ini berada di salah satu pojok bandara internasional Baltimore, Amerika. (Bersambung)

Seruan Nyoblos Di Sekitar Masjid (A Call to Vote around Mosque)

Thu, Oct. 30, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Boston, AS (4)
Rakyat Merdeka Report from Boston, US (4)

Muhammad Rusmadi

Seruan Nyoblos Di Sekitar Masjid
(A Call to Vote around Mosque)


Selama berada di Boston untuk meliput suasana hajatan pemilihan presiden (pilpres) Amerika, saya berusaha sebisanya menyempat mengeksplorasi kota ini. Boston adalah sebuah kota terkenal dan sangat tua, kota terbesar dan sekaligus sebagai ibukota negara bagian Massachusetts. Kotanya tenang. Tidak ada macet, dan untuk kawasan pusat kota, kemana-mana bisa dilakukan hanya dengan berjalan kaki.
Kota ini didirikan pada 17 September 1630 oleh kaumj kolonial Inggris. Dan sebagai kota tua, disini banyak sekali tempat bersejarah. Di antaranya, gedung tempat dideklarasikannya Kemerdekaan Amerika, 14 Juli 1776, di kawasan Washington Street, Boston. Selain itu, disinilah adanya kampus yang sangat terkenal itu, Harvard University.
Sebagai Muslim, saya penasaran, apakah ada masjid di sekitar kota ini. Untuk urusan shalat, saya sejak dari Indonesia sudah menyiapkan jadwal shalat kota Boston dengan surfing di internet. Dapat. Sayangnya, di sekitar pusat kota tidak ketemu masjid. Dimana-mana umumnya museum, gereja, atau teater.
Satu ketika, bersama dua rekan wartawan lainnya, saya disarankan DR. J Gregory Payne dari Emersion College untuk melihat-lihat museum. Kami lalu naik kereta bawahtanah, subway. Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di lokasi museum. Namun kami akhirnya sepakat batal masuk museum dan ingin lebih menikmati suasana pinggiran kota Boston. Suasana kota saat ini sudah sangat dingin, karena meski belum memasuki musim salju, angin musim gugur sudah terasa menusuk tulang. Terlebih buat kita yang biasa tinggal kawasan tropis seperti Indonesia.
Sekitar 15 menit berjalan kaki, kami tak sengaja melihat bangunan masjid. Tadinya kami ragu. Namun setelah melihat tanda bulan sabit di pucuk kubahnya, kami akhirnya memasuki masjid tersebut. Tak ada papan nama di depannya yang menandakan bahwa ini adalah masjid. Juga kumandang azan lewat mikrofon karena akan “berisik” dan “mengganggu” ketenangan warga di sekitar masjid.
Saya teringat rekan saya yang pernah tinggal di Singapura yang menceritakan hal yang sama tentang adzan di masjid sana. Hanya menggunakan mikrofon dalam masjid. Begitulah masjid yang berada di tengah kota yang warga setempat umumnya non Muslim. Memiliki kubah bulat pada bagian atap.
Kami tiba sekitar pukul 18.00, kebetulan sama dengan di Indonesia, waktunya shalat maghrib. Karena udara yang dingin, suasana di luar sepi, tak ada orang. Saya pikir di dalam mungkin banyak orang. Tapi ternyata shalat maghrib sudah dimulai, dan saya buru-buru bergabung untuk shalat.
Di sekitar masjid ini, juga terdapat plang berisi seruan untuk tidak lupa mencoblos pada 4 November mendatang. Dan bisa ditebak, umumnya jamaah masjid ini adalah juga para pendukung Obama. “Obama lebih sebagai simbol bagi warga imigran Amerika,” jelas Bilal Kaleem, Direktur Eksekutif Masyarakat Muslim Boston (MAS). Sehari-hari, dialah yang menjadi pimpinan di masjid ini.
Yang jelas, untuk urusan pilpres Amrik kali ini, sejak dulu, Boston benar-benar di atas angin. Boston dan negara bagian Massachusetts secara umum adalah kandangannya kaum Demokrat. Jadi umumnya warga sini adalah pendukung Barack Obama.
Meski demikian, bukan berarti warga pro John McCain tidak ada. Malah di pusat kota, tak jauh dari Emerson College, terdapat Markas Kemenangan McCain. Tapi sudah bisa ditebak, suasananya sepi. Di dalam, hanya ada beberapa orang sukarelawan yang bekerja untuk kantor ini . Tugas mereka di antaranya menghubungi warga –umumnya dengan telepon-- dan meyakinkan mereka untuk nyoblos McCain pada Selasa, 4 November nanti. (Bersambung)

Andai Obama Seorang Muslim (If Obama is a Muslim)

Wedn, Oct. 29, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Boston, AS (3)
Rakyat Merdeka Report from Boston, US (3)

Muhammad Rusmadi

Andai Obama Seorang Muslim
(If Obama is A Moslem)

Hajatan pilpres Amerika yang akan digelar Selasa, 4 November nanti, rasanya seperti sebuah pertunjukan jor-joran buat masyarakat dunia internasional. Disinilah Amerika, negara dengan konsep demokrasinya yang paling tua dalam sejarah manusia modern akan diuji. Siap atau tidak.
Salah satu masalah yang sejak beberapa waktu lalu mengemuka adalah isu SARA. Dalam hal ini agama. Barakc Obama misalnya terlihat begitu ketakutan saat dia dianggap sebagai seorang Islam. Kita tahu, Hussein Obama, ayah Obama asal Kenya yang sudah almarhum itu adalah seorang Muslim. Dan, Barack Obama menggunakan nama tengahnya 'Hussein', sebuah nama yang dengan gampang dianggap sebagai nama seorang Islam, atau malah celakanya, dianggap punya hubungan dengan teroris!
“John McCain atau orang-orang Republikan akan dengan sengaja menyebut nama Barack Obama dengan lengkap dan menekankan nama tengahnya Barack 'Hussein' (dinyaringkan sebagai penekanan -red) Obama,” jelas Bilal Kaleem, Direktur Eksekutif Masyarakat Muslim Amerika di Boston.
Hal ini, lanjutnya, sebagai upaya memberi kesan, Obama boleh jadi punya “nawaitu yang tidak murni” bila nanti terpilih sebagai presiden Amerika. Mungkin dia bersimpati pada orang Islam. Dan, boleh jadi juga dia sedikit banyak akan bersimpati pada teroris-teroris itu.
Hal ini terus membuat saya tidak nyaman saat berlangsung orientasi untuk liputan menjelang hari-hari pilpres AS 4 November mendatang. Salah satunya karena nama nama depan saya, Muhammad. “Yah, mau bagaimana lagi. Suka atau tidak, di negeri ini yang mayoritas adalah kaum Kristiani,” gumam saya dalam hati.
Kita juga tahu, selama ini juga ada semacam aturan tak tertulis, presiden Amrik haruslah seorang Protestan. Tidak boleh Katolik. Lalu bagaimana lagi dengan Islam? Atau seorang capres yang misalnya “berbau” Islam? Jangankan itu, saya masih lanjut membatin, seorang Yahudi Amrik saja, belum tentu siap untuk dijadikan presiden di negeri mbah-nya demokrasi ini. Mungkin bangsa Amerika siap. Tapi, sisi strategi keamanan dalam negeri dari gangguan teroris internasional yang anti Yahudi, sangat boleh jadi akan sangat berisiko. Atau, prospek hubungan yang bisa tambah amburadul dengan negara semacam Iran, atau yang lainnya.
Tentang bahwa Amrik adalah negara Kristen, bandingannya kurang lebih seperti Indonesia, yang mayoritas, bahkan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Siapkah kita dipimpin seorang, katakanlah, Protestan atau Katolik, Budhha, Hindu Bali, misalnya. Mungkin akan pusing 14 keliling membayangkan kemungkinan seperti ini. Padahal kalau jujur, bukankah semua warga berhak dipilih dalam kalau kita memang menyebut bangsa yang menganut paham demokrasi?
Masih tentang semacam identitas Amrik sebagai sebuah bangsa Kristen ini, dalam orientasi pra liputan pilpres AS di Emerson College, Boston, kami 10 wartawan Indonesia juga mendiskusikan berbagai rekaman kegiatan dan kampanye warga Amrik. Salah satunya, bagaimana pandangan umum warga kaum tua dan konservatif Amrik ini tadi. Saya rada kaget saat melihat tayangan di Ohio –negara bagian dengan kekuatan berimbang antara Demokrat dan Republik. “Ini negara Kristen. Jangan diserahkan kepada orang Islam...” Demikian antara lain pandangan yang memang ada di tengah masyarakat Amrik saat ini.
Ini menunjukkan, sebagian warga Amrik yang kaum tua ini tadi memang masih picik soal Islam. Meski usai tragedi WTC dahulu itu, sesungguhnya juga tidak sedikit warga Amrik yang juga masuk Islam. Ini fakta lain yang menunjukkan juga ada gelombang masyarakat Amrik yang penasaran, belajar sendiri dan membaca lalu pindah agama ke Islam.
Sayangnya, ini tidak menjadi isu yang laku dijual oleh media-media Amrik saat ini. Terlebih dalam demam pilpres Amrik seperti saat sekarang, isu Islam, malah jadi harus dikesampingkan jauh-jauh.
Untungnya, menurut Direktur Polling Institute of Politics John F. Kennedy School of Government, Cambridge, John Della Volve, isu-isu SARA semacam ini meski ada, tapi tidak bisa membuat capres seperti Obama goyang. Tak cuma itu, karena gejala semacam ini menurutnya sudah berlangsung sejak 10 lalu namun terbukti tak pernah berhasil.
Yang menarik, lanjutnya, sebenarnya saat ini kalangan muda Amrik malah mulai kembali kepada agama. Mulai relijius dalam arti luas. Ada yang memeluk agama-agama besar dunia, atau bahkan menjadi spiritualis yang tak terbatas hanya pada memeluk agama-agama yang ada selama ini. (Bersambung)

Teriakan Obama Dari Boston Sampai Afrika (Obama’s Yell from Boston to Africa)

Tue, Oct. 28, 2008

Laporan Rakyat Merdeka Dari Boston, AS (2)
Rakyat Merdeka Report from Boston, US (2)

Muhammad Rusmadi

Teriakan Obama Dari Boston Sampai Afrika
(Obama’s Yell from Boston to Africa)


Pilpres Amerika kali ini memang menjadi perhatin luas dunia internasional, tak terkecuali Indonesia. Indonesia, karena salah satu capres AS ini, Barack Obama, memang pernah tinggal di Menteng, Jakarta saat Obama masih kecil. Sehingga seolah ada hubungan emosional antara Indonesia dengan Obama.
Saat transit di Hong Kong dalam perjalanan ke Boston, AS, di toko-toko buku bandara juga buku-buku tentang Obama dan pesaingnya, John McCain sudah berjejer menyambut mata karena lumayan mendominasi. Buku-buku dengan sampul wajah Obama dan McCain terpampang dimana-mana. Termasuk di berbagai majalah dan suratkabar.
Jennan Al-Hamdouni, seorang mahasiswi Emerson College, Boston juga menuturkan hal yang sama. Saat dia bepergian ke Afrika beberapa waktu lalu, akunya, simpati dukungan luar biasa terhadap Obama juga terlihat. "Mereka sering meneriakkan yel-yel Obama! Obama!," jelas mahasiswi keturunan Irak-Italia ini. Simpati itu jelas, lanjutnya, karena Obama memang keturunan Afrika (Kenya). Jadi punya hubungan emosional yang kuat seperti halnya Indonesia.
Terlepas dari itu, khususnya bagi warga Amerika keturunan atau imigran, memilih Obama menjadi semacam simbol. Dari kalangan imigran manapun, tak hanya warga keturunan Afrika. Demikian menurut Bilal Kaleem, Direktur Eksekutif Masyarakat Muslim Amerika di Boston.
Meski demikian, untuk kebijakan luarnegeri, pendukung Obama ini menilai tidak akan banyak berubah, termasuk bila Obama nantinya terpilih. "Yang jelas, Obama akan lebih terbuka berbicara kepada negara-negara tertentu yang saat ini belum ada komunikasi seperti Iran," jelasnya. Selama ini, kita tahu, memang tak ada hubungan diplomasi antara kedua negara.
Dan yang paling menarik, partisipasi warga Amerika kali mengikuti pilpres kali jauh lebih antusias ketimbang pilpres-pilpres AS sebelumnya. "Dulu, jarang sekali kita melihat spanduk-spanduk di tempat-tempat terbuka seperti pilpres kali ini," aku Elizabeth Dann, muslimah Amerika di Boston.
Dan dari kedua capres yang kini, Barack Obama dan John McCain, harus juga diakui, popularitas Obama terus bertengger di atas. Termasuk di kalangan anak muda Amrik. Ini karena salah satu jurus Obama adalah menggunakan teknologi internet untuk menjaring para pemilih muda. Salah satunya melalui 'Face Book'. Hal ini menurut Prof. Linda Gallant, di Emerson College, Boston. Hingga 25 Oktober lalu misalnya, pendukung pasangan Obama-Joe Biden sudah mencapai 2.260.720 orang. Sementara pasangan McCain-Sarah Palin, hanya mengantongi 598.271.
Selama ini, kesan dari kedua capres memang dianggap bertentangan 180 derajat. Obama mewakili kaum muda. Sedang McCain, mewakili kaum tua. Dan ternyata, kaum tua Amerika ini pun dianggap tidak terlalu familiar dengan yang namanya dunia internet ini. Meski ada, disain blog yang ditampilkan pun jauh lebih atraktif ketimbang blog-blog yang dimiliki John McCain. Disinilah pertempuran lagi-lagi tidak terlihat imbang antara keduanya. "Ini juga menunjukkan, mereka yang ada di lingkaran Obama jauh lebih kreatif ketimbang di lingkaran McCain," lanjut Linda. (Bersambung)

Ribet Urusan Jenggot Dan Bumbu Dapur (Being Complicated Because of Beard and Spices)

Monday, Oct. 27, 2008


Laporan Rakyat Merdeka Dari Boston, AS (1)
Rakyat Merdeka Report from Boston, US (1)

Muhammad Rusmadi

Ribet Urusan Jenggot Dan Bumbu Dapur
(Being Complicated Because of Beard and Spices)

Berkesempatan meliput pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini merupakan salah satu harapan besar banyak wartawan. Malah sejak akhir 2006 lalu, Raymond Bonner, rekan saya sesama wartawan yang bekerja untuk koran Amerika, The New York Times sudah bilang sama saya, 2008 adalah saat -saat penting buat seorang wartawan untuk bisa berada di Amerika. Saat itu, terus terang, saya tidak berharap banyak untuk bisa melakukan liputan ke wilayah pojok bumi sebelah sana itu. Dan saya juga bukan pada posisi yang nyaman membikin situasi agar saya besar kemungkinan mendapat penugasan peliputan kali ini. Meski dalam hati, keinginan itu tentu tetap ada, mengingat pentingnya pemilu kali ini. Terlebih sebagai wartawan, saya juga merasa penting untuk bisa menjadi saksi sejarah bagaimana Amerika berubah.
Karena pada pemilu kali inilah Amerika akan menentukan sejarah dan masa depannya. Apakah akan dipimpin orang keturunan kulit hitam pertama sepanjang sejarah Amerika yang muda, cerdas, energetik, dan berpikiran terbuka, pecinta damai alias anti perang, yang diwakili oleh sosok Barack Obama itu. Atau, akan dipimpin presiden paling tua dalam sejarah negeri Abang Sam, penerus berbagai kebijakan Presiden Bush yang kontroversial dan memuakkan banyak orang seluruh dunia dengan kebijakan perangnya, John McCain, meski berkali-kali dia bantah bahwa McCain bukan Bush.
Sampai akhirnya, pada 3 Juli lalu, Asisten Atase Pers Kedubes Amerika Serikat (Kedubes AS) di Jakarta, Stafford A. Ward berkirim surat secara langsung kepada saya yang intinya, berisi undangan liputan pilpres AS ini, dengan sejumlah persyaratan. Salah satunya, membuat personal statement of interest. Well, singkatnya, alhamdulillah, bersama 9 rekan media lainnya, dengan bantuan Kedubes AS, kami pun berangkat. Dalam hal ini, Kedubes juga bekerjasama dengan sebuah sekolah komunikasi dan seni di Boston, Massachusetts, Emmerson College.
Seperti umumnya liputan luarnegeri yang disponsori lembaga tertentu, kami pun diberikan briefing oleh Kedubes AS, agar memudahkan proses keberangkatan dan, terutama saat memasuki Amerika Serikat. Meski 10 orang, ternyata kami berangkat dengan pesawat berbeda-beda, sendiri-sendiri. Namun karena tujuannya adalah Amerika, jadi lebih khusus. Begitulah setidaknya menurut saya. Maklum, Amerika harus extra hati-hati terhadap berbagai kemungkinan serangan dengan segala bentuknya. Jadi pemeriksaan ketat di pintu-pintu masuk ke Amerika juga sudah ditekankan kepada kami. Saya, memasuki Amerika dari Los Angeles, California. Agar tidak kerepotan atau kaget, pihak kedubes juga sudah mewanti-wanti akan bagaimana kemungkinan besarnya perlakuan pihak imigrasi Amerika terhadap setiap penumpang pesawat yang memasuki kota pertama Amerika. Yang jelas, kaum pria, akan sedikit repot dibanding perempuan karena harus diperiksa ekstra ketimbang perempuan.
Ini perjalanan pertama saya ke Amrik. Saat ke Jerman, saya tidak terlalu deg-degan tidak memotong jenggot saya, atau dengan nama depan saya, Muhammad. Beberapa rekan saya menyarankan, "Mending dihabisin aja tuh jenggot". Penasaran berat, saya cross-check ke Stafford sambil cengar-cengir. Eh, dia malah juga ngetawain. "Emang jenggot kamu gede banget apa?," begitu kira-kira dia menjawab penasaran saya. Well, nasib jenggot saya pun akhirnya selamat. Tak digundul habis, cuma dipendekin sedikit.
Ini mengingatkan saya pada cerita rekannya yang juga studi di Hawaii sana, yang mengaku rela menggundul habis bulu di dagunya demi "keamanan" memperoleh visa Amrik. Saya cuma ketawa-ketawa kalau ingat ini. Padahal, namanya tidak ada mirip-mirip dengan nama-nama Arab, Muhammad kayak saya, atau Ahmad. Karena belakangan saat di Boston, rekan senior saya yang menjadi asisten profesor di California juga curhat soal namanya, Muhammad Ali. Deg-degan ini juga karena ternyata salah satu rekan kami dari sebuah stasiun radio Jakarta akhirnya malah tidak mendapatkan visa menjelang keberangkat ke Amrik. Alasannya nggak jelas. Apakah ditunda atau ditolak. Saya, termasuk yang mendapat visa dua hari menjelang keberangkatan. Alhamdulillah, dapat juga.
Saat tahu akan ke Boston, saya pun mengabari rekan saya yang sedang studi di Harvard University, Sukidi Mulyadi. Tentu, kami sama-sama gembira karena lama tak bertemu. Dia berjanji akan membantu saya selama berada di Boston. Alhamdulillah, pikir saya. Tapi, yang membuat saya rada deg-degan, teman lama sya ini minta titipan bumbu masak dan kue lapis legit. Mungkin, lama tidak pulang ke Indonesia, sehingga kangen berat. Waduh, pikir saya lagi. Bukannya produk hewan, juga bumbu-bumbuan termasuk yang ditekankan tidak dibawa oleh pihak Kedubes AS? Tapi saya akhirnya tetap akan membawa titipan tersebut dan memasukkannya di bagasi. Setelah penerbanan panjang dan akan mendarat di bandara pertama di AS, Los Angeles (LA), kami dibagikan form untuk diisi. Salah satunya dari Imigrasi dan Bea Cukai AS. Dan, benar, ternyata salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah saya membawa produk hewan. Saya tadinya berpikir tidak akan mengisi karena menduga bagasi saya akan tiba di Boston langsung, bandara kedua di AS, tujuan akhir saya. Tapi bagaimana kalau bagasi ternyata harus diambil dulu di LA? Well, saya pun akhirnya memutuskan mengisi jawaban 'ya'.
Memasuki bandara Tom Bradley, LA, ternyata tak seribet yang saya bayangkan. Saat itu memang sekitar pukul 14.00. Jadi nggak terlalu puyeng. Dan antrian tidak parah saat berhadapan dengan meja petugas Imigrasi. Sejak dari pesawat, saya sudah siap-siap. Di bandara, saya diminta mengisi form biodata lagi. Tapi di kelompok saya umumnya hanya orang-orang Asia. Setelah mengisi form, scanning jari tangan dan difoto, saya pun dipersilakan memasuki antrian ke tempat pengambilan bagasi. Ternyata, disnilah saya diinterogasi spontan oleh petugas. "Produk hewan apa yang Anda bawa?," tanyanya. Saya kaget, karena tidak menyangka bukannya ditanyai saat pengisian form tadi, tapi malah menjelang masuk antrian. Celakanya, saya lupa setelah bilang 'kue' dan 'bumbu dapur', mestinya saya bilang 'spices', malah 'kitchen stuff'. Barang-barang dapur. Si petugas ini pun malah jadi penasaran. "Apa? Barang dapur bagaimana maksud Anda ?," tanyanya lagi. "Waduh, bisa panjang nih urusan," saya pikir. Saya pun menawarkan untuk membuka tas bagasi saya yang kebetulan cuma satu tas ransel punggung besar.
Mungkin karena antrian di belakang saya lumayan banyak, dia pun akhirnya menyilakan saya terus. "Ah, slame...t, slame....t," pikir saya. Nasib bumbu ayam dana sapi titipan teman saya itu akhirnya aman. Apalagi karena bumbu itu tertutup rapat sejak saat dibeli dan kering. Sebenarnya teman saya memang sudah bilang bahwa produk yang saya bawa akan 'aman'. Termasuk saat memasuki pintu 'scanning' berikutnya, bagasi saya tidak dicek lagi. Yang agak repot adalah memasuki pintu scanning terakhir, semua barang di badan kita yang mengandung logam harus dilepas. Tak kecuali ikat pinggang dan sepatu. Laptop juga harus dikeluarkan dari tasnya. Lolos dari sini, barulah kita memasuki ruang utama bandara Tom Bradley, LA. Perjuangan saya berikutnya adalah berdiam di bandara ini selama delapan jam hingga jam 22.30, menunggu penerbangan berikutnya ke Boston. "Phuih....!" (Bersambung/TO BE CONTINUED)

Tuesday, March 3, 2009

Yuni's excitement about meeting Hillary Clinton





How are you?, hopefully you are fine..

I would like to tell you a great things that yesterday (Thursday), on 19 February 2009, about seven journalists of Indonesia already had an oppourtunity met and also interviewed with US Secretary, Hillary Clinton at house of embassy, Cameron D Hume in Taman Suropati, Menteng, Jakarta.

It took for a half an hour, and its great moment that we already had here in having discussion with her. Also moderator by press attache US Embassy, Mr Tristram Perry.

Ms. Clinton is so nice and full of charisma. I really adored her. I had one of her pic.

The seven journalist are included from the journalist covering the US election in program emerson college, Boston.
They are mr. Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka Newspaper), Simon Saragih (Kompas Newspaper), Ms.
Kiki (Trans TV), and me. At that time, we only had one question per each person in interviewing her.

Its an honour for me to had that oppourtunity in my lifetime.


keep contact and miss u all

god bless you,
yuni herlina sinambela

Hillary: Indonesia Penting Bagi AS

JAKARTA (SINDO) - Amerika Serikat (AS) ingin membentuk sebuah kerjasama komprehensif yang baik dengan Indonesia, sebagaimana diungkapkan Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton saat memulai kunjungannya ke Jakarta, kemarin.

“Kemitraan antara kedua negara ini, yang kami yakini akan menggerakkan demokrasi dan pembangunan, akan memberikan kerangka untuk memajukan kepentingan bersama kedua belah pihak di beberapa isu regional dan global seperti perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, perdagangan dan investasi, promosi demokrasi, kesehatan, pendidikan, keamanan nasional dan kontra-terorisme,” ujar Hillary saat menggelar jumpa pers gabungan bersama Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda, kemarin.

Lebih lanjut, Hilary menegaskan bahwa Indonesia memiliki kepentingan strategis sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan demokrasi ketiga terbesar di dunia dan hal itu telah diakui AS.

“Kami memiliki nilai yang sama, kita sama-sama telah menjalankan demokrasi. Indonesia telah mengalami transformasi besar dalam 10 tahun terakhir, membangun dan mengembangkan institusi yang kuat, menyambut baik dan mengembangkan masyarakat sipil yang dinamis,” papar Hillary.

“Dan, pada saat yang sama, Indonesia juga menghormati hak asasi manusia dan sukses dalam memerangi terorisme dan ekstrimisme, mengakhiri konflik sektarian dan separatis dan berusaha membuat dunia sebagai tempat yang lebih nyaman bagi perdagangan global dan dilindunginya hak asasi manusia,” imbuhnya.

Hillary juga mengatakan, bahwa pemerintahan Presiden Barack Obama ingin menggandeng seluruh dunia dan karenanya, Indonesia akan menjadi partner penting dalam usaha itu. “Jadi, kami berusaha mempererat kerjasama kami pada sejumlah isu,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Menlu Hassan Wirajuda juga mengungkapkan bahwa Indonesia juga tidak bisa lepas dari pengaruh buruk krisis ekonomi yang sedang dihadapi AS.

“Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia akan terpengaruh dampak negatif krisis finansial global. Kami akan terus saling berhubungan untuk mencari jalan apakah AS bisa membantu Indonesia untuk mengatasi krisis keuangan ini,” beber Hassan.

Hillary menjawab tantangan itu dengan mengatakan, sebagai anggota G20, Indonesia dan AS harus bekerja sama untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan terwujudnya kemakmuran.

“Tiap negara menghadapi masalah ini, tapi tidak ada negara yang bisa melakukannya sendir. Dan, meskipun Indonesia memproyeksikan rata-rata pertumbuhan positif, jelas bahwa Indonesia butuh dukungan dari teman dan sekutnya di Asia dan seluruh dunia,” papar Hillary.

Selain itu, Hillary juga memuji langkah Indonesia untuk melakukan langkah nyata dalam upaya memerangi global warming (pemanasan global) dengan memberi selamat atas suksesnya pelaksanaan konferensi tingkat tinggi global warming beberapa tahun lalu di Bali.

Dalam jumpa pers itu, Hillary juga menyampaikan salam dari Obama. “Saya menyampaikan salam dari Presiden Obama, yang mengatakan dan menulis sendiri tentang pentingnya masa kecilnya di sini. Ini memberikannya pandangan tidak hanya pada kebudayaan yang berbeda dan beragam, tapi juga kapasistas rakyatnya dengan perbedaan latar belakang yang bisa hidup dengan harmoni bersama-sama,” ujarnya.

Pernyataan ini diamini Hassan yang mengatakan,”Kami telah membuktikan bahwa di sini, demokrasi, Islam dan modernitas bisa berjalan beriringan.”

Di akhir jumpa pers, Hassan sempat menanyakan kepada Hillary tentang kemungkinan kedatangan Obama ke Indonesia. “Kami tidak sabar menyambut kehadiran Presiden Obama ke Indonesia,” papar Hassan.

Pertanyaan itu disambut Hillary dengan penuh senyuman. Tak tampak lelah di wajah istri mantan Presiden AS Bill Clinton itu yang telah menempuh perjalanan jauh dari Tokyo ke Jakarta, kemarin.

Selain mengungkapkan keinginan AS untuk membentuk kemitraan komprehensif dengan Indonesia, Hillary juga melontarkan beberapa cerita santai yang menjadi pengalamannya.

“Saya pernah berkunjung ke Indonesia ketika masih menjadi ibu negara AS. Dan, ini bukanlah suatu kebetulan jika saya bisa kembali berkunjung ke negara ini sebagai menteri luar negeri. Jadi ini bukan kunjungan pertama saya,” paparnya.

Sementara itu, saat menghadiri jamuan makan malam bersama 75 tokoh Indonesia di Gedung Arsip Nasional di Jakarta, Hillary terlihat lebih rileks. Suciwati, Pramono Anung, Gubernur DKI Jakarta Fauzi “Foke” Bowo, Lili Munir, Theo L Sambuaga, dan Mooryati Soedibyo tampak berada di antara para tamu.

Hillary memperkenalkan beberapa staf Departemen Luar Negeri AS yang dia ajak berkunjung kepada para hadirin sebelum melontarkan beberapa pengalamannnya.

“Saya ingat pernah berkunjung ke sebuah daerah di Indonesia ketika saya masih menjadi ibu negara, ada seorang ibu yang melahirkan dirawat di bawah pohon, itu membuat saya prihatin,” tuturnya sambil menambahkan ibu itu harus datang sekali sepekan ke bawah pohon itu untuk memeriksakan bayinya.

Hal itu membuatnya berpikir betapa pentingnya pembangunan masyarakat sipil di semua negara. Dia mengatakan, pembangunan masyarakat sipil menjadi salah satu agenda penting dalam pemerintahan Presiden Obama saat ini. Masyarakat sipil dipandang sebagai salah satu faktor penting dalam mewujudkan demokrasi di berbagai belahan dunia.

Dia juga mengatakan, bahwa pemilu adalah salah satu sarana untuk belajar berdemokrasi. Menurut dia, selalu ada yang menang dan kalah dalam pemilu. “Dan, kadang sulit menerima kekalahan, karena Anda tahu kita berada dalam sistem demokrasi dan kita punya partai. Jadi ada orang yang mengatakan bahwa kita akan menang, tapi, kenyataan tidak terjadi seperti itu,” ujarnya.

Ketika kekalahan itu terjadi, maka orang yang kalah seharusnya legawa dan tidak perlu ada dendam. “Saya mengalaminya. Saya tahu betapa pentingnya di sistem demokrasi bahwa kita harus menerima hasil pemilu dan kita harus bekerja terus di dalam sistem atau di luar untuk membawa perubahan kepada keadaan yang terjadi dan juga demokarsi setelah pemilu, anda harus tahu apa yang harus Anda lakukan,” paparnya.

“Meski kalah, Anda tetap harus bekerjasama. Saya adalah orang yang paling kaget di dunia ketika Presiden Obama meminta saya menjadi menteri luar negeri. Ini adalah komitmen saya untuk berjuang bagi negara dan saya mengatakan iya,” imbuh Hillary yang disambut tepuk tangan hadirin. (alvin masrifah)