Wednesday, May 13, 2009

Ribet Urusan Jenggot Dan Bumbu Dapur (Being Complicated Because of Beard and Spices)

Monday, Oct. 27, 2008


Laporan Rakyat Merdeka Dari Boston, AS (1)
Rakyat Merdeka Report from Boston, US (1)

Muhammad Rusmadi

Ribet Urusan Jenggot Dan Bumbu Dapur
(Being Complicated Because of Beard and Spices)

Berkesempatan meliput pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini merupakan salah satu harapan besar banyak wartawan. Malah sejak akhir 2006 lalu, Raymond Bonner, rekan saya sesama wartawan yang bekerja untuk koran Amerika, The New York Times sudah bilang sama saya, 2008 adalah saat -saat penting buat seorang wartawan untuk bisa berada di Amerika. Saat itu, terus terang, saya tidak berharap banyak untuk bisa melakukan liputan ke wilayah pojok bumi sebelah sana itu. Dan saya juga bukan pada posisi yang nyaman membikin situasi agar saya besar kemungkinan mendapat penugasan peliputan kali ini. Meski dalam hati, keinginan itu tentu tetap ada, mengingat pentingnya pemilu kali ini. Terlebih sebagai wartawan, saya juga merasa penting untuk bisa menjadi saksi sejarah bagaimana Amerika berubah.
Karena pada pemilu kali inilah Amerika akan menentukan sejarah dan masa depannya. Apakah akan dipimpin orang keturunan kulit hitam pertama sepanjang sejarah Amerika yang muda, cerdas, energetik, dan berpikiran terbuka, pecinta damai alias anti perang, yang diwakili oleh sosok Barack Obama itu. Atau, akan dipimpin presiden paling tua dalam sejarah negeri Abang Sam, penerus berbagai kebijakan Presiden Bush yang kontroversial dan memuakkan banyak orang seluruh dunia dengan kebijakan perangnya, John McCain, meski berkali-kali dia bantah bahwa McCain bukan Bush.
Sampai akhirnya, pada 3 Juli lalu, Asisten Atase Pers Kedubes Amerika Serikat (Kedubes AS) di Jakarta, Stafford A. Ward berkirim surat secara langsung kepada saya yang intinya, berisi undangan liputan pilpres AS ini, dengan sejumlah persyaratan. Salah satunya, membuat personal statement of interest. Well, singkatnya, alhamdulillah, bersama 9 rekan media lainnya, dengan bantuan Kedubes AS, kami pun berangkat. Dalam hal ini, Kedubes juga bekerjasama dengan sebuah sekolah komunikasi dan seni di Boston, Massachusetts, Emmerson College.
Seperti umumnya liputan luarnegeri yang disponsori lembaga tertentu, kami pun diberikan briefing oleh Kedubes AS, agar memudahkan proses keberangkatan dan, terutama saat memasuki Amerika Serikat. Meski 10 orang, ternyata kami berangkat dengan pesawat berbeda-beda, sendiri-sendiri. Namun karena tujuannya adalah Amerika, jadi lebih khusus. Begitulah setidaknya menurut saya. Maklum, Amerika harus extra hati-hati terhadap berbagai kemungkinan serangan dengan segala bentuknya. Jadi pemeriksaan ketat di pintu-pintu masuk ke Amerika juga sudah ditekankan kepada kami. Saya, memasuki Amerika dari Los Angeles, California. Agar tidak kerepotan atau kaget, pihak kedubes juga sudah mewanti-wanti akan bagaimana kemungkinan besarnya perlakuan pihak imigrasi Amerika terhadap setiap penumpang pesawat yang memasuki kota pertama Amerika. Yang jelas, kaum pria, akan sedikit repot dibanding perempuan karena harus diperiksa ekstra ketimbang perempuan.
Ini perjalanan pertama saya ke Amrik. Saat ke Jerman, saya tidak terlalu deg-degan tidak memotong jenggot saya, atau dengan nama depan saya, Muhammad. Beberapa rekan saya menyarankan, "Mending dihabisin aja tuh jenggot". Penasaran berat, saya cross-check ke Stafford sambil cengar-cengir. Eh, dia malah juga ngetawain. "Emang jenggot kamu gede banget apa?," begitu kira-kira dia menjawab penasaran saya. Well, nasib jenggot saya pun akhirnya selamat. Tak digundul habis, cuma dipendekin sedikit.
Ini mengingatkan saya pada cerita rekannya yang juga studi di Hawaii sana, yang mengaku rela menggundul habis bulu di dagunya demi "keamanan" memperoleh visa Amrik. Saya cuma ketawa-ketawa kalau ingat ini. Padahal, namanya tidak ada mirip-mirip dengan nama-nama Arab, Muhammad kayak saya, atau Ahmad. Karena belakangan saat di Boston, rekan senior saya yang menjadi asisten profesor di California juga curhat soal namanya, Muhammad Ali. Deg-degan ini juga karena ternyata salah satu rekan kami dari sebuah stasiun radio Jakarta akhirnya malah tidak mendapatkan visa menjelang keberangkat ke Amrik. Alasannya nggak jelas. Apakah ditunda atau ditolak. Saya, termasuk yang mendapat visa dua hari menjelang keberangkatan. Alhamdulillah, dapat juga.
Saat tahu akan ke Boston, saya pun mengabari rekan saya yang sedang studi di Harvard University, Sukidi Mulyadi. Tentu, kami sama-sama gembira karena lama tak bertemu. Dia berjanji akan membantu saya selama berada di Boston. Alhamdulillah, pikir saya. Tapi, yang membuat saya rada deg-degan, teman lama sya ini minta titipan bumbu masak dan kue lapis legit. Mungkin, lama tidak pulang ke Indonesia, sehingga kangen berat. Waduh, pikir saya lagi. Bukannya produk hewan, juga bumbu-bumbuan termasuk yang ditekankan tidak dibawa oleh pihak Kedubes AS? Tapi saya akhirnya tetap akan membawa titipan tersebut dan memasukkannya di bagasi. Setelah penerbanan panjang dan akan mendarat di bandara pertama di AS, Los Angeles (LA), kami dibagikan form untuk diisi. Salah satunya dari Imigrasi dan Bea Cukai AS. Dan, benar, ternyata salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah saya membawa produk hewan. Saya tadinya berpikir tidak akan mengisi karena menduga bagasi saya akan tiba di Boston langsung, bandara kedua di AS, tujuan akhir saya. Tapi bagaimana kalau bagasi ternyata harus diambil dulu di LA? Well, saya pun akhirnya memutuskan mengisi jawaban 'ya'.
Memasuki bandara Tom Bradley, LA, ternyata tak seribet yang saya bayangkan. Saat itu memang sekitar pukul 14.00. Jadi nggak terlalu puyeng. Dan antrian tidak parah saat berhadapan dengan meja petugas Imigrasi. Sejak dari pesawat, saya sudah siap-siap. Di bandara, saya diminta mengisi form biodata lagi. Tapi di kelompok saya umumnya hanya orang-orang Asia. Setelah mengisi form, scanning jari tangan dan difoto, saya pun dipersilakan memasuki antrian ke tempat pengambilan bagasi. Ternyata, disnilah saya diinterogasi spontan oleh petugas. "Produk hewan apa yang Anda bawa?," tanyanya. Saya kaget, karena tidak menyangka bukannya ditanyai saat pengisian form tadi, tapi malah menjelang masuk antrian. Celakanya, saya lupa setelah bilang 'kue' dan 'bumbu dapur', mestinya saya bilang 'spices', malah 'kitchen stuff'. Barang-barang dapur. Si petugas ini pun malah jadi penasaran. "Apa? Barang dapur bagaimana maksud Anda ?," tanyanya lagi. "Waduh, bisa panjang nih urusan," saya pikir. Saya pun menawarkan untuk membuka tas bagasi saya yang kebetulan cuma satu tas ransel punggung besar.
Mungkin karena antrian di belakang saya lumayan banyak, dia pun akhirnya menyilakan saya terus. "Ah, slame...t, slame....t," pikir saya. Nasib bumbu ayam dana sapi titipan teman saya itu akhirnya aman. Apalagi karena bumbu itu tertutup rapat sejak saat dibeli dan kering. Sebenarnya teman saya memang sudah bilang bahwa produk yang saya bawa akan 'aman'. Termasuk saat memasuki pintu 'scanning' berikutnya, bagasi saya tidak dicek lagi. Yang agak repot adalah memasuki pintu scanning terakhir, semua barang di badan kita yang mengandung logam harus dilepas. Tak kecuali ikat pinggang dan sepatu. Laptop juga harus dikeluarkan dari tasnya. Lolos dari sini, barulah kita memasuki ruang utama bandara Tom Bradley, LA. Perjuangan saya berikutnya adalah berdiam di bandara ini selama delapan jam hingga jam 22.30, menunggu penerbangan berikutnya ke Boston. "Phuih....!" (Bersambung/TO BE CONTINUED)

No comments: