Sun, Nov, 10, 2008
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (14)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (14)
Muhammad Rusmadi
Pejuang Perdamaian Yang Anti WC
(Peace Fighter Who Is Anti WC)
Hari itu Senin (3/11), hanya sehari menjelang pemilihan presiden (pilpres) Amrik. Saya menyambangi beberapa titik di kota Athens, Ohio. Salah satunya, Board of Elections (BE), semacam kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia. Ternyata disini lumayan ramai warga Athens yang sedang mengantri untuk memberikan suaranya. Hari itu adalah hari terakhir warga yang ingin melakukan pencoblosan awal (early voting).
Tapi di depan gedung State Court House, bersebelahan dengan gedung BE ini, saya menyaksikan pemandangan menarik lainnya. Setidaknya empat orang tua sedang berdiri di pinggir jalan. Masing-masing memegang kertas besar bertuliskan sejumlah tuntutan. Di antaranya, 'End the Occupation in Iraq and Palestine' (Akhiri Penjajahan di Irak dan Palestina), 'Bring the Troops Home' (Pulangkan Tentara).
“Wah, ada demo nih,” pikir saya. Saya mengamati dari seberang jalan, karena rasanya saya mengenal pria tua dengan jenggot lebat putih itu. “Astaga. Itu kan Arthur Gish?,” benak saya lagi.
Ya, Athens memang kota tempat tinggal dia. Sejak dari Jakarta, sebenarnya saya sudah ingin bertanya pada rekan-rekan saya yang pernah mengundangnya ke Indonesia, namun tak kunjung sempat. Art –demikian ia biasa disapa-- adalah aktivis perdamaian yang menentang berbagai bentuk aksi kekerasan. Termasuk kehadiran pasukan Amerika dan sekutu di Irak yang dia anggap penjajahan. Juga pasukan Israel di Palestina.
Art begitu terkenal di sejumlah kalangan aktivis anti kekerasan –termasuk di Indonesia-- ketika sebuah bukunya yang berjudul Hebron Journal diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diluncurkan. Pada cover edisi buku itu dipasang foto bagaimana Art menantang sebuah moncong tank tentara Israel.
Gish menulis tentang peristiwa yang dia alami di foto itu, “Sebuah tank datang menderu di hadapanku. Moncong raksasanya mengarah kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku di udara, berdoa, dan berteriak, ‘Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai! (Terpujilah nama Tuhan!’) Tank itu berhenti beberapa inci di hadapanku. Aku lantas berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan terangkat di udara. Aku merasa sendiri, lemah, dan tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.”
Menariknya –terlepas kita setuju atau tidak-- dia mengaku beragama Islam, di samping juga Kristen. “Bukankah Tuhannya sama,” kata dia santai. Ini jawaban saat dia ditanya soal agama ketika tampil dalam sebuah acara talk show di Jakarta. Acara itu ditayangkan live oleh sebuah stasiun televisi di Jakarta pada pagi hari. Jawaban ini juga yang dia berikan kepada saya, ketika saya iseng bertanya soal agamanya ini.
Saya cuma manggut-manggut. Untungnya saya pernah belajar Studi Perbandingan Agama yang salah satu teorinya adalah, semua agama sebenarnya sama, menyembah pada satu Tuhan yang sama. Meski ekspresinya yang kemudian beda-beda. Termasuk dalam menyebut nama Tuhan. Istilahnya, 'banyak jalan menuju Monas'. Begitulah kira-kira. Terserah kita setuju atau tidak.
Saya hanya tak menyangka malah bisa bertemu Art secara tak sengaja seperti kemarin itu. Tadinya saya malah berencananya mencari alamatnya. Syukurlah, akhirnya ketemu.
Belakangan, Art bilang, rumahnya sekitar 10-an kilometer dari pusat kota Athens. Saya sebenarnya penasaran ingin bertandang ke rumahnya. Tapi karena jadwal kami tak bisa bertemu, akhirnya saya gagal main ke rumahnya. Dari cerita seorang rekan, Art juga penggiat tanaman non-organik. “Kalau mau gampang cari aja dia (Art -red) di pasar sayur tiap Sabtu pagi. Dia jualan kok,” ungkap Arin, Presiden Asosiasi Mahasiswa Indonesia (Permias) di Athens, satu ketika saat bertemu saya.
Belakangan juga, Art memang bilang dia punya sekitar tiga hektar kebun tanaman non organik. Saya dengar juga dari kawan, rumahnya sangat bersahaja. Malah konon nggak punya WC, karena –maaf-- “ampas buangan” itu dimanfaatkan juga buat pupuk. Ehem! Satu ketika, supir yang mengantar beberapa rekan Indonesia ke rumahnya malah mengaku malu. “Mending ajak ke rumah saya (si supir -red) aja kalau bawa tamu dari luar (Amerika). Malu-maluin.” Begitu kira-kira si supir itu pernah berbisik. Sayang, saya tidak bisa mengkros-cek hal ini.
Menyangkut aksinya hari itu, Art menyangkal ini terkait pilpres Amrik yang sedang digelar. “Ini (demo -red) agenda rutin kita. Selama satu jam tiap hari Senin, kami berdiri disini,” ungkap Art sambil tersenyum bangga akan bentuk perjuangannya. (Bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment