Tue, Nov, 4, 2008
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (9)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (9)
Muhammad Rusmadi
Mau Lihat Obama, Antri 1 Kilometer
(To See Obama, Making Line 1 Kilometer)
Saat mengetahui Barack Obama akan datang ke negara bagian Ohio, terus terang saya senang sekali. Sejak berada di Boston dan bergerak ke Athens, kota kecil di negara bagian Ohio, inilah sebenarnya yang saya tunggu-tunggu. Obama ke Ohio. Sekali lagi, ini karena warga Amrik yang belum memutuskan akan memihak Obama atau McCain cukup tinggi disini. Istilahnya, wilayah swing state. Di Indonesia mungkin seperti massa mengambang (floating mass). Makanya jadi medan pertempuran kedua calon presiden (capres).
Sebenarnya capres bisa terjun ke enam wilayah yang berbeda dalam sehari. Apalagi hari-hari terakhir menjelang 4 November, hari pencoblosan ini. Jadwal yang saya pegang, Minggu (2/11) kemarin setidaknya di Ohio Obama misalnya akan berkeliling di kota-kota Columbus, Cleveland dan Cincinnati. Karena saya tinggal di Athens, saya memilih Columbus. Selain dekat, hanya sekitar 1,5 jam naik mobil, juga karena Columbus adalah ibukota negara bagian Ohio. Sebenarnya kota yang paling banyak penduduknya adalah justru Cleveland. Rekan saya di Jakarta malah juga menyarankan kesini, karena ada konser musik rocknya segala, bersama Bruce Springsteen. Namun cukup jauh, sekitar empat jam. Sementara transportasinya kemungkinan bakal rada susah untuk balik ke Athens karena malam hari. Soalnya Obama di Cleveland berkampanye sekitar jam 16.00.
Saya beruntung karena ada mahasiswa S3 asal Indonesia di Ohio University (OU) yang Minggu itu akan berangkat ke Columbus bawa mobil sendiri –yang bersangkutan menolak disebut identitasnya. Dan saya diajak gabung bersama keluarganya yang kebetulan juga ingin menyaksikan kampanye Obama dari dekat. Pak Yani –sebut saja demikian namanya—menjemput saya pukul 09.00 pagi, dengan harapan kami bisa tiba sekitar 30 menit sebelum gerbang lokasi kampanye dibuka pada pukul 11.00 pagi, di halaman Ohio Statehouse –semacam kantor gubernur, kawasan Genoa Park, Columbus.
Pak Yani sudah sekitar 15 tahun tinggal di Amerika. Dia mengaku mendapat beasiswa dari Amerika. Karena anaknya yang sakit dan harus dirawat untuk waktu lama di Columbus, Pak Yani akhirnya “terdampar” disini. Saking lamanya, malah anak-anak Pak Yani yang ada lima orang itu semuanya tak ada yang bisa berbahasa Indonesia.
Melaju di jalanan tol ke arah Columbus, banyak terlihat mobil-mobil berstiker Obama. “Mereka kayaknya pengen gabung acara kampanye tuh,” celetuk Pak Yani.
Kami tiba sesuai jadwal, sekitar 10.30-an pagi. Memasuki kota Columbus, suasana masih lengang. Saya senang, berarti bisa ngambil tempat dekat tempat orasi, pikir saya. Karena ada keperluan lain, Pak Yani tidak ikut, dan saya hanya bersama istri dan kedua anaknya yang saya turun mencari pintu masuk lokasi kampanye. Lokasinya sebenarnya di halaman, di tempat terbuka, tapi di batasi gerbang masuk. Gerbangnya berlapis tiga.
Mendekati gerbang, sudah terlihat antrian. Yah, saya juga sebenarnya sudah dengar pengantri sudah berbaris sekitar empat jam sejak sebelum dibukanya gerbang pada pukul 11.00. Tapi saya lihat antrian belum begitu panjang. Saya berusaha mencari ujung belakang antrian di balik gedung. Astagaaa…!!! Ternyata saya tidak bisa mencari ujung belakang antrian ini. Saya berputar-putar blok gedung, berbelok, kiri, kanan, menyeberang jalan dan lampu lintas, setengah berlari, tapi tidak ketemu-ketemu.
Saya pun lalu terpisah dengan keluarga Pak Yani. Anyway. Saya sempat berpikir bagaimana nantinya ketemu kembali dengan mereka di tengah ribuan massa –media setempat memprediksi massa sekitar 60.000 orang— karena saya lupa mencatat nomor kontak mereka. Tapi saya kemudian melupakan itu karena terus berusaha mencari ujung antrian dengan berputar-putar blok gedung-gedung disana.
Terus berputar-putar. Akhirnya seorang sukarelawan memberitahu ujungnya. Ampun!!! Mungkin antrian ini panjangnya satu kilometer. Mungkin lebih. Itu pun tidak satu-satu. Pengantri sekitar tiga orang berjejer ke samping.
Apa boleh buat, saya harus rela bergabung pengantri. Bukan saya saja yang terkaget-kaget melihat panjangnya antrian ini. Sejumlah keluarga Amrik yang datang pun, lengkap dengan atribut Obama, geleng-geleng kepala sendiri. Tapi mereka tampak juga senang, karena artinya pendukung Obama memang luarbiasa membludak. (Bersambung)
Laporan Wartawan Rakyat Merdeka, Muhammad Rusmadi Dari Amerika Serikat
Truk McCain Terobos Massa Obama
Melihat warga yang antri, macam-macam tingkah mereka menunjukkan dukungannya. Mulai menggunakan atribut-atribut Obama berupa pin, bros, topi, kaos, banner. Malah ada yang tampil sebagai ‘John Si Tukang Listrik’. Kubu McCain belakangan menggaet Joe Si Tukang Ledeng, simbol warga Amrik yang ‘gagal menjadi kaya’ karena harus “membagi” hartanya kepada warga Amrik lainnya lewat kebijakan kenaikan pajak yang akan diterapkan Obama. Percakapan spontannya dengan Obama terekam media TV. Joe mendadak terkenal setelah dalam kampanye Obama dia mengaku tidak suka dengan kebijakan itu, hingga akhirnya digaet McCain dalam beberapa kampanyenya untuk menyerang Obama.
Saat sedang asyik ngantri, tiba-tiba terdengar suara ramai orang meneriakkan Obama. Ternyata mereka meneriaki sebuah bus pendukung JohnMcCain yang berputar di jalan sekitar antrian. Menantang sekali, manas-manasin. “Berani sekali orang ini,” pikir saya. Apalagi, dia hanya sendirian.
Di samping lambung mobilnya tertulis besar McCain-Palin. Sementara di pintu masuk tertulis ‘Demokrat Mendukung McCain’. Setiap barisan antrian yang dilewati mobil ini terus menyoraki. Malah ada yang menimpuk, meski bukan dengan benda keras. Tapi umumnya pendukung Obama hanya menyoraki sambil tertawa-tawa. Ada yang membalikkan jempol tangan mereka.
Tiap kali disoraki, si pengendara hanya mengacung-acungkan sebuah buku tebal, sepertinya Kitab Bible, Injil. Memang, Partai Republik selama ini juga dianggap sebagai partai yang agamis (Kristen), anti aborsi, anti pernikahan sejenis, dan menolak nilai-nilai kebebasan lainnya yang selama ini diwakili kaum Demokrat. Malah Sarah Palin sering menggunakan istilah-istilah Injil dalam pidatonya, yang ditolak mentah-mentah kaum Demokrat. Karena kaum Demokrat memandang agama sebagai urusan pribadi.
Dan mobil tadi, terus berputar beberapa kali, tanpa takut diserang pendukung Obama. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ini di Indonesia. Minimal mobil ini bakal bonyok dihajar massa yang emosi, atau orangnya babak-belur digebuki. Tapi si pengendara yang lumayan gendut dan berjas tanpa dasi itu toh aman disini. “Hebat,” gumam saya.
Setelah sekitar satu jam antri, saya sudah mendekati gerbang masuk Statehouse. Terlihat petugas menggeledah barang-barang bawaan peserta kampanye. Tas punggung dilarang masuk. Lokasi kampanye persis di halaman gedung Statehouse, di halaman terbuka. Di sekitar Statehouse, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit.
Saya lalu berpikir, di balik pucuk-pucuk gedung itu pasti ada para sniper (penembak jitu) yang sudah siaga, baik yang bisa terlihat atau tidak, karena di dalam gedung. Betul. Persis di atap kanan Statehouse, tampak tiga sniper bersiaga. Mereka tampak terus memantau massa dengan teropong, baik yang double maupun jenis single model pelaut jaman dulu itu. Di samping mereka, terlihat jelas sebuah senapan spesial sniper berukuran panjang.
Mendekati gerbang, ternyata di dalam di lapisan pertama ini massa sudah benar-benar penuh sesak, sehingga gerbang pertama pun akhirnya dibuka. Saya ikut menerobos lari. Tapi, waduh! Mandeg. Penuh. Maju mundur, susah. Setidaknya 60.000-an massa hari itu pendukung Obama tumplek di halaman Statehouse hingga jalan-jalan raya.
Diisi pidato-pidato singkat oleh tokoh-tokoh lokal Partai Demokrat dan lagu-lagu selingan, pukul 13.15 Michele Obama, istri Barack Obama keluar. Riuh tepuk tangan, teriakan ‘Obama!’ menggema. Michele keluar sendirian. Setelah sekitar 10-an menit bicara, Obama pun keluar. Suasana makin gemuruh. Yel-yel ‘Yes, We Can!’ serentak teratur digemakan. Anak-anak muda, orang tua, kulit putih, hitam, menyatu kompak bersorak semangat.
Setiap kali serangan Obama terhadap McCain, saingannya terdengar, gemuruh tepuk tangan pun kembali menggema. “Saya tidak khawatir kalah seperti McCain. Saya justru khawatir memikirkan nasib rumah dan pekerjaan Anda semua,” tegas Obama, menyangkut ekonomi Amrik yang kini sedang babak belur.
Termasuk soal perang Irak yang tak berkesudahan yang dia juga kritik. “Kita tidak butuh pemimpin besar yang dikagumi. Tapi pemimpin yang pintar,” tegasnya lagi. Termasuk nasib para tentara Amrik yang kini banyak jadi sasaran empuk di Irak. Obama mengaku akan membuat mereka aman dan meningkat kesejahteraannya. (Bersambung)