Lia Christie:
Dr. Payne (and Efe),
I’m doing fine in Jakarta, I think the rest is okay too, with their works.
.....
Why have you been worried about us?
Is that because of the bomb exploded in JW Marriot Hotel and Ritz Carlton Hotel (which you stayed in last time you came here)?
......
But well… life goes on. Hope everything will be ok here when the Election Commission announce the result officially later.
About the bomb in JW Marriot Hotel and Ritz Carlton Hotel, the President had made a controversial statement about it.
He gave a quite open assumption that it could be an attack from some people who is not satisfied with the election quick qount result.
But now we found that the investigators said it was the Jamaah Islamiah who responsible to that tragedy.
Well… I think that’s all for now.
....
Widhie Kurniawan
Hello Professor ....
I'm fine.
also is Jakarta and Indonesia..
just low explosive bomb..., but high impact..JW MARRIOT...
.....
Alvin Masrifah
Hi, Dr. Payne
I am okay, but I'm busy with some Michael Jackson projects...
Well, anyway, Jakarta is fine too although we've bombed last week,
everything keeps normal here
...
Rizki Washarti SIREGAR
Hi Dr. Payne! (and everyone)
Im fine, and I think I can say on behalf of the others...we're all thankfully ok here in Jakarta...:)
Sure, the bombings last week was a real shock, but we're all doing good and the police are trying their best to catch the perpetrators and to improve the security in Jakarta...
Its been a hectic week, and Im guessing all of us have to work extra hours due to last week happening...but we'll survive:)
Wednesday, July 22, 2009
Monday, May 18, 2009
Mr. Rusmadi's Articles from Indonesia
The below photo gallery and slide show are contributions of Mr. Muhammad Rusmadi. Please check the blog posts to read his articles.
Photo Gallery of the slide show.
Menikmati Delima Syurga di Athens Enjoying Heaven’s Pomegranate in Athens
Thu, Nov 13, 2008
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (18)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (18)
Muhammad Rusmadi
Menikmati Delima Syurga di Athens
Enjoying Heaven’s Pomegranate in Athens
Di Islamic Center kota Athens ini adzannya dua kali. Seperti yang biasa dipraktekkan di masjid-masjid kaum NU di Indonesia. Setelah adzan kedua, baru khatib maju ke mimbar khotbah. Usame Tunagur, khatib asal Turki ini menegaskan pentingnya ber-tafakkur, aktivitas berpikir dalam hidup ini. Termasuk menyangkut alam sebagai tanda kebesaran Tuhan yang juga harus direnungi.
Khotbah ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 20-an menit. Usai Jumatan, saya kembali melihat-lihat jamaah. Bule yang saya lihat cuma Arthur Gish, aktivis perdamaian yang juga pro rakyat Palestina itu. “Setahu saya di sini (Athens -red) cuma ada tiga keluarga Muslim. Mereka semua bukan orang kulit putih atau asli Amerika. Mereka juga tidak pernah saya lihat shalat di masjid ini,” jelasnya.
Usai shalat jamaah dihidangi berbagai macam buah-buahan di salah satu pojok belakang dalam Islamic Center yang juga masjid ini. Banyak sekali. Pisang, apel, anggur, mangga, jeruk, strawberry. Saya mengambil piring dan menikmati seraup anggur dan beberapa buah pisang. Lumayan, makan siang dengan buah-buahan segar. Tapi perhatian saya tertuju pada buah yang mirip apel, merah, tapi berukuran besar. “Ini buah syurga. Buah 'rummaan' atau pomegranate ,” jelas Ahmad, menyebut sebutan bahasa Arab dan Inggrisnya sekaligus.
Saya pun teringat beberapa kali kata 'rumman' ini muncul dalam al-Qur'an. ‘Rumman’ adalah buah delima. Setidaknya ada tiga ayat al-Qur’an yang menyebut buah delima ini. Yakni dalam surah al-An’am (surah ke-6) ayat 99 dan 141, serta surah ar-Rahman (surah ke-55) ayat 68. Dan sebenarnya, nama buah yang berasal dari Persia ini juga disebut dalam tradisi agama yahudi dan Kristen, hingga mitologi Yunani.
Saya pun menikmati buah ini. Rasanya sedikit asam manis. Bagian dalamnya yang kecil-kecil mirip biji jagung, namun warnanya merah menyala.
Penasaran apakah buah-buahan yang melimpah ini disumbang oleh para jamaah shalat Jumat, saya bertanya kepada seorang mahasiswa Indonesia yang rajin shalat di sini. “Ini yang nyumbang cuma satu orang lho. Tuh orangnya,” bisik rekan mahasiswa ini, menunjuk seorang pria Arab berambut gondrong.
Saya sudah kenalan dengan pria itu. Saat datang pukul 11.00 sebelumnya, saya hanya melihat dia sendirian di Islamic Center ini. Abdul Azis, demikian namanya. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya bergelombang, panjang sebahu. Matanya tajam. Alisnya tebal. Dia adalah mahasiswa Ohio University (OU) asal Qatar. Jam 11.00 hari itu dia buru-buru meninggalkan saya karena mengaku harus masuk kuliah lagi.
“Dia itu juragan tuh,” tambah mahasiswa Indonesia itu lagi berbisik kepada saya. Tapi seorang mahasiswa India lalu berkomentar. “Pokoknya, ada deh. Nggak usah ditanya siapa yang nyumbang buah-buahan ini. Cukup doakan saja orangnya,” ungkapnya. (Selesai/THE END)
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (18)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (18)
Muhammad Rusmadi
Menikmati Delima Syurga di Athens
Enjoying Heaven’s Pomegranate in Athens
Di Islamic Center kota Athens ini adzannya dua kali. Seperti yang biasa dipraktekkan di masjid-masjid kaum NU di Indonesia. Setelah adzan kedua, baru khatib maju ke mimbar khotbah. Usame Tunagur, khatib asal Turki ini menegaskan pentingnya ber-tafakkur, aktivitas berpikir dalam hidup ini. Termasuk menyangkut alam sebagai tanda kebesaran Tuhan yang juga harus direnungi.
Khotbah ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 20-an menit. Usai Jumatan, saya kembali melihat-lihat jamaah. Bule yang saya lihat cuma Arthur Gish, aktivis perdamaian yang juga pro rakyat Palestina itu. “Setahu saya di sini (Athens -red) cuma ada tiga keluarga Muslim. Mereka semua bukan orang kulit putih atau asli Amerika. Mereka juga tidak pernah saya lihat shalat di masjid ini,” jelasnya.
Usai shalat jamaah dihidangi berbagai macam buah-buahan di salah satu pojok belakang dalam Islamic Center yang juga masjid ini. Banyak sekali. Pisang, apel, anggur, mangga, jeruk, strawberry. Saya mengambil piring dan menikmati seraup anggur dan beberapa buah pisang. Lumayan, makan siang dengan buah-buahan segar. Tapi perhatian saya tertuju pada buah yang mirip apel, merah, tapi berukuran besar. “Ini buah syurga. Buah 'rummaan' atau pomegranate ,” jelas Ahmad, menyebut sebutan bahasa Arab dan Inggrisnya sekaligus.
Saya pun teringat beberapa kali kata 'rumman' ini muncul dalam al-Qur'an. ‘Rumman’ adalah buah delima. Setidaknya ada tiga ayat al-Qur’an yang menyebut buah delima ini. Yakni dalam surah al-An’am (surah ke-6) ayat 99 dan 141, serta surah ar-Rahman (surah ke-55) ayat 68. Dan sebenarnya, nama buah yang berasal dari Persia ini juga disebut dalam tradisi agama yahudi dan Kristen, hingga mitologi Yunani.
Saya pun menikmati buah ini. Rasanya sedikit asam manis. Bagian dalamnya yang kecil-kecil mirip biji jagung, namun warnanya merah menyala.
Penasaran apakah buah-buahan yang melimpah ini disumbang oleh para jamaah shalat Jumat, saya bertanya kepada seorang mahasiswa Indonesia yang rajin shalat di sini. “Ini yang nyumbang cuma satu orang lho. Tuh orangnya,” bisik rekan mahasiswa ini, menunjuk seorang pria Arab berambut gondrong.
Saya sudah kenalan dengan pria itu. Saat datang pukul 11.00 sebelumnya, saya hanya melihat dia sendirian di Islamic Center ini. Abdul Azis, demikian namanya. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya bergelombang, panjang sebahu. Matanya tajam. Alisnya tebal. Dia adalah mahasiswa Ohio University (OU) asal Qatar. Jam 11.00 hari itu dia buru-buru meninggalkan saya karena mengaku harus masuk kuliah lagi.
“Dia itu juragan tuh,” tambah mahasiswa Indonesia itu lagi berbisik kepada saya. Tapi seorang mahasiswa India lalu berkomentar. “Pokoknya, ada deh. Nggak usah ditanya siapa yang nyumbang buah-buahan ini. Cukup doakan saja orangnya,” ungkapnya. (Selesai/THE END)
Pakai Topi Malaysia, Diprotes Aktivist Buruh Migran My Malaysian Hat is Protested by Migrant Labor Activist
Wedn, Nov, 12, 2008
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (17)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (17)
Pakai Topi Malaysia, Diprotes Aktivist Buruh Migran
My Malaysian Hat is Protested by Migrant Labor Activist
Jumat (7/11) lalu, hiruk pikuk terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru sudah tidak begitu heboh lagi. Kalaupun ada, paling hanya sekadar obrolan kecil antar teman tentang kemenangan Obama yang luarbiasa itu, kekalahan McCain, tantangan dan berbagai permasalahan besar yang bakal dihadapi Obama, serta harapan yang juga kelewat berlebihan terhadap Senator negara bagian Illinois ini.
Saya hanya ingin ke Islamic Center di kota Athens, Ohio, untuk bisa Jumatan disana. Jam 11.00 pagi, saya sudah hadir disana. Sebelumnya, saya sendirian memang sudah menyurvei lokasi Islamic Center ini. Karena mencari sendiri berdasarkan peta, saya bertanya-tanya kepada warga sekitar dimana kawasan 13 Stewart. Saya lupa janjian dengan mahasiswa Indonesia disini. Padahal kalau dengan mereka, saya tentunya tidak perlu kebingungan lagi mencari-cari alamat. Akhirnya saya harus memutar jauh, tapi setelah ketemu, ternyata gedung Islamic Center ini tak jauh dari gedung perpustakaan Ohio University (OU).
Disini saya berharap bisa bertemu barangkali saja ada warga lokal kota Athens yang biasa Jumatan disini. Warga lokal, maksud saya adalah orang Amrik asli, seperti yang pernah saya dapati di masjid kawasan Roxbury, Boston, sebelumnya.
Ternyata saya datang kepagian. Sehari sebelumnya saya memang diberitahu, jadwal Jumatan disini biasanya sekitar jam 13.00. Meskipun sebenarnya jadwal shalat Dzuhur adalah pukul 12.13. “Khusus untuk Jumatan, waktunya dimundurkan,” terang Shaleh, yang saya temui sehari sebelumnya disini. Waktu itu pria keturunan Arab ini usai melakukan shalat Ashar. Dia bukan mahasiswa, akunya. Tapi sudah jadi warga Amrik dan tinggal sekitar 1,5 jam naik mobil dari kota Athens.
Merasa kepagian, saya keluar mencari makan siang dan kembali lagi satu jam kemudian. Saat itu sudah terlihat enam orang duduk-duduk santai, selonjoran sambil bersandar di pojok ruangan Islamic Center itu. Mereka menikmati teh. Saya tidak begitu gembira, karena dari keenam orang ini tak ada satu pun yang bule. Padahal saya sangat berharap bisa ngobrol sekaligus menggali informasi dari warga lokal, yang Muslim.
Lima orang di antara mereka saya pastikan adalah orang-orang Arab. Satu orang adalah mahasiswa Indonesia yang sudah saya kenal sejak seminggu sebelumnya. Dia adalah aktivis buruh, Migrant Care yang sedang kuliah di Studi Asia Tenggara di Ohio University (OU). Saat saya dadakan diminta jadi pembicara di Kajian Asia Tenggara ini seminggu sebelumnya, dia memprotes topi saya yang berlogo Malaysia. “Topinya tolong dilepas dong, Mas. Itu kan mempromosikan Malaysia banget,” katanya sambil senyum.
Tadinya saya pikir dia cuma bercanda. Tapi belakangan saya tahu dia serius, sembari menyatakan kekurangan senangannya dengan negeri jiran itu. Bisa ditebak, karena urusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita disana memang mengecewakan banyak pihak. Termasuk buat Migrant Care ini, yang banyak menangani kasus penganiayaan buruh Indonesia disana. Demi menghormati “ideologi perjuangan” kawan senegara saya ini, saya pun akhirnya rela melepas topi saya.
Mendekati pukul 13.00, jamaah berdatangan. Tapi tak satu pun dari mereka yang Muslim bule yang saya cari. Mereka umumnya orang-orang Arab, Afrika, India dan tentunya Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka juga umumnya adalah mahasiswa. Tidak banyak yang sudah menjadi warga negara Amerika.
Pukul 13.15, Ahmad, mahasiswa asal Mesir yang mengambil studi Human and Comsumer Sciences di OU mengumandangkan adzan. Suaranya lembut. Tapi bukan karena kurang gizi. Soal ini, dia sendiri yang ngomong saat kami kenalan sebelumnya. Studi dia, menurut jebolan Suez Univerity, Mesir ini juga menyangkut ilmu gizi. “Tapi Anda lihat sendiri saya seperti orang kurang gizi ya,” candanya. Ahmad memang bertubuh kurus, bicaranya pelan, dan matanya rada sayu.
Disini adzannya dua kali, seperti yang biasa dipraktekkan di masjid-masjid kaum NU. Setelah adzan kedua, baru khatib maju ke mimbar khotbah. Usame Tunagur, khatib asal Turki ini menegaskan pentingnya ber-tafakkur, aktivitas berpikir dalam hidup ini. Termasuk menyangkut alam sebagai tanda kebesaran Tuhan yang juga harus direnungi.
Khotbah ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 20-an menit. Usai Jumatan, saya kembali melihat-lihat jamaah. Bule yang saya lihat cuma Arthur Gish, aktivis perdamaian yang juga pro rakyat Palestina itu. “Setahu saya disini (Athens -red) cuma ada tiga keluarga Muslim. Mereka semua bukan orang kulit putih atau asli Amerika. Mereka juga tidak pernah saya lihat shalat di masjid ini,” jelasnya.
Usai shalat jamaah dihidangi berbagai macam buah-buahan di salah satu pojok belakang dalam Islamic Center yang juga masjid ini. Banyak sekali. Pisah, apel, anggur, mangga, jeruk, strawberry. Saya mengambil piring dan menikmati seraup anggur dan beberapa buah pisang. Lumayan, makan siang dengan buah-buahan segar. Tapi perhatian saya tertuju pada buah yang mirip apel, merah, tapi berukuran besar. “Ini buah syurga. Buah 'rummaan' atau pomegranate ,” jelas Ahmad, menyebut sebutan bahasa Arab dan Inggrisnya sekaligus.
Saya pun teringat rasanya pernah mendengar kata 'rumman' ini dalam al-Qur'an, tapi lupa di surah apa dan ayat berapa. Saya pun mencoba menikmati buah ini. Rasanya sedikit asam manis. Yang dimakan adalah bagian dalamnya yang kecil-kecil mirip biji jagung, namun warnanya merah menyala.
Penasaran apakah jamaah yang menyumbang buah-buahan yang melimpah ini, saya bertanya kepada seorang mahasiswa Indonesia yang rajin shalat disini. “Ini yang nyumbang cuma satu orang lho. Tuh orangnya,” bisik rekan mahasiswa ini, menunjuk seorang pria Arab berambut gondrong.
Saya sudah kenalan dengan pria itu. Saat datang pukul 11.00 sebelumnya, saya hanya melihat dia sendirian di Islamic Center ini. Abdul Azis, demikian namanya. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya bergelombang, panjang sebahu. Matanya tajam. Dia adalah mahasiswa OU asal Qatar. Jam 11.00 hari itu dia buru-buru meninggalkan saya karena mengaku harus masuk kuliah lagi. “Dia itu juragan tuh,” tambah mahasiswa Indonesia itu lagi berbisik kepada saya.
Tapi seorang mahasiswa India berkomentar. “Pokoknya, ada deh. Nggak usah ditanya siapa yang nyumbang buah-buahan ini. Doakan saja dia,” ungkapnya. (Bersambung)
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (17)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (17)
Pakai Topi Malaysia, Diprotes Aktivist Buruh Migran
My Malaysian Hat is Protested by Migrant Labor Activist
Jumat (7/11) lalu, hiruk pikuk terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru sudah tidak begitu heboh lagi. Kalaupun ada, paling hanya sekadar obrolan kecil antar teman tentang kemenangan Obama yang luarbiasa itu, kekalahan McCain, tantangan dan berbagai permasalahan besar yang bakal dihadapi Obama, serta harapan yang juga kelewat berlebihan terhadap Senator negara bagian Illinois ini.
Saya hanya ingin ke Islamic Center di kota Athens, Ohio, untuk bisa Jumatan disana. Jam 11.00 pagi, saya sudah hadir disana. Sebelumnya, saya sendirian memang sudah menyurvei lokasi Islamic Center ini. Karena mencari sendiri berdasarkan peta, saya bertanya-tanya kepada warga sekitar dimana kawasan 13 Stewart. Saya lupa janjian dengan mahasiswa Indonesia disini. Padahal kalau dengan mereka, saya tentunya tidak perlu kebingungan lagi mencari-cari alamat. Akhirnya saya harus memutar jauh, tapi setelah ketemu, ternyata gedung Islamic Center ini tak jauh dari gedung perpustakaan Ohio University (OU).
Disini saya berharap bisa bertemu barangkali saja ada warga lokal kota Athens yang biasa Jumatan disini. Warga lokal, maksud saya adalah orang Amrik asli, seperti yang pernah saya dapati di masjid kawasan Roxbury, Boston, sebelumnya.
Ternyata saya datang kepagian. Sehari sebelumnya saya memang diberitahu, jadwal Jumatan disini biasanya sekitar jam 13.00. Meskipun sebenarnya jadwal shalat Dzuhur adalah pukul 12.13. “Khusus untuk Jumatan, waktunya dimundurkan,” terang Shaleh, yang saya temui sehari sebelumnya disini. Waktu itu pria keturunan Arab ini usai melakukan shalat Ashar. Dia bukan mahasiswa, akunya. Tapi sudah jadi warga Amrik dan tinggal sekitar 1,5 jam naik mobil dari kota Athens.
Merasa kepagian, saya keluar mencari makan siang dan kembali lagi satu jam kemudian. Saat itu sudah terlihat enam orang duduk-duduk santai, selonjoran sambil bersandar di pojok ruangan Islamic Center itu. Mereka menikmati teh. Saya tidak begitu gembira, karena dari keenam orang ini tak ada satu pun yang bule. Padahal saya sangat berharap bisa ngobrol sekaligus menggali informasi dari warga lokal, yang Muslim.
Lima orang di antara mereka saya pastikan adalah orang-orang Arab. Satu orang adalah mahasiswa Indonesia yang sudah saya kenal sejak seminggu sebelumnya. Dia adalah aktivis buruh, Migrant Care yang sedang kuliah di Studi Asia Tenggara di Ohio University (OU). Saat saya dadakan diminta jadi pembicara di Kajian Asia Tenggara ini seminggu sebelumnya, dia memprotes topi saya yang berlogo Malaysia. “Topinya tolong dilepas dong, Mas. Itu kan mempromosikan Malaysia banget,” katanya sambil senyum.
Tadinya saya pikir dia cuma bercanda. Tapi belakangan saya tahu dia serius, sembari menyatakan kekurangan senangannya dengan negeri jiran itu. Bisa ditebak, karena urusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita disana memang mengecewakan banyak pihak. Termasuk buat Migrant Care ini, yang banyak menangani kasus penganiayaan buruh Indonesia disana. Demi menghormati “ideologi perjuangan” kawan senegara saya ini, saya pun akhirnya rela melepas topi saya.
Mendekati pukul 13.00, jamaah berdatangan. Tapi tak satu pun dari mereka yang Muslim bule yang saya cari. Mereka umumnya orang-orang Arab, Afrika, India dan tentunya Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Mereka juga umumnya adalah mahasiswa. Tidak banyak yang sudah menjadi warga negara Amerika.
Pukul 13.15, Ahmad, mahasiswa asal Mesir yang mengambil studi Human and Comsumer Sciences di OU mengumandangkan adzan. Suaranya lembut. Tapi bukan karena kurang gizi. Soal ini, dia sendiri yang ngomong saat kami kenalan sebelumnya. Studi dia, menurut jebolan Suez Univerity, Mesir ini juga menyangkut ilmu gizi. “Tapi Anda lihat sendiri saya seperti orang kurang gizi ya,” candanya. Ahmad memang bertubuh kurus, bicaranya pelan, dan matanya rada sayu.
Disini adzannya dua kali, seperti yang biasa dipraktekkan di masjid-masjid kaum NU. Setelah adzan kedua, baru khatib maju ke mimbar khotbah. Usame Tunagur, khatib asal Turki ini menegaskan pentingnya ber-tafakkur, aktivitas berpikir dalam hidup ini. Termasuk menyangkut alam sebagai tanda kebesaran Tuhan yang juga harus direnungi.
Khotbah ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 20-an menit. Usai Jumatan, saya kembali melihat-lihat jamaah. Bule yang saya lihat cuma Arthur Gish, aktivis perdamaian yang juga pro rakyat Palestina itu. “Setahu saya disini (Athens -red) cuma ada tiga keluarga Muslim. Mereka semua bukan orang kulit putih atau asli Amerika. Mereka juga tidak pernah saya lihat shalat di masjid ini,” jelasnya.
Usai shalat jamaah dihidangi berbagai macam buah-buahan di salah satu pojok belakang dalam Islamic Center yang juga masjid ini. Banyak sekali. Pisah, apel, anggur, mangga, jeruk, strawberry. Saya mengambil piring dan menikmati seraup anggur dan beberapa buah pisang. Lumayan, makan siang dengan buah-buahan segar. Tapi perhatian saya tertuju pada buah yang mirip apel, merah, tapi berukuran besar. “Ini buah syurga. Buah 'rummaan' atau pomegranate ,” jelas Ahmad, menyebut sebutan bahasa Arab dan Inggrisnya sekaligus.
Saya pun teringat rasanya pernah mendengar kata 'rumman' ini dalam al-Qur'an, tapi lupa di surah apa dan ayat berapa. Saya pun mencoba menikmati buah ini. Rasanya sedikit asam manis. Yang dimakan adalah bagian dalamnya yang kecil-kecil mirip biji jagung, namun warnanya merah menyala.
Penasaran apakah jamaah yang menyumbang buah-buahan yang melimpah ini, saya bertanya kepada seorang mahasiswa Indonesia yang rajin shalat disini. “Ini yang nyumbang cuma satu orang lho. Tuh orangnya,” bisik rekan mahasiswa ini, menunjuk seorang pria Arab berambut gondrong.
Saya sudah kenalan dengan pria itu. Saat datang pukul 11.00 sebelumnya, saya hanya melihat dia sendirian di Islamic Center ini. Abdul Azis, demikian namanya. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya bergelombang, panjang sebahu. Matanya tajam. Dia adalah mahasiswa OU asal Qatar. Jam 11.00 hari itu dia buru-buru meninggalkan saya karena mengaku harus masuk kuliah lagi. “Dia itu juragan tuh,” tambah mahasiswa Indonesia itu lagi berbisik kepada saya.
Tapi seorang mahasiswa India berkomentar. “Pokoknya, ada deh. Nggak usah ditanya siapa yang nyumbang buah-buahan ini. Doakan saja dia,” ungkapnya. (Bersambung)
Imam Perempuan Yahudi: I Love Obama Jewish Rabbi: I Love Obama
Tue, Nov 11, 2008
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (16)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (16)
Imam Perempuan Yahudi: I Love Obama
Jews Woman Rabbi: I Love Obama
Salah satu rasa penasaran saya saat akan berangkat meliput pemilihan presiden (pilpres) ke Amrik ini adalah ingin bertemu warga Yahudi Amerika. Saya penasaran sekali mengetahui asiprasi politik mereka, termasuk menyangkut pandangan mereka tentang kedua calon presiden (capres) yang kemarin bertarung.
Selama ini di Indonesia, kabar tentang lobi Yahudi Amerika memang dianggap super canggih. Umumnya hanya diketahui dari membaca buku-buku. Konon, lobi Yahudi ini bahkan mampu mempengaruhi berbagai kebijakan luarnegeri Amerika di Timur Tengah sana. Termasuk dalam konflik Israel-Palestina.
Selain itu, juga ada keyakinan selama ini, yang namanya capres Amrik harus mendapat “restu” dari lobi Yahudi ini. Kalau tidak, jangan harap bisa terpilih. Restu itu, dalam arti komitmen mendukung kepentingan-kepentingan Israel melalui warga Yahudi Amerika, tentunya.
Saya hanya ingin merasakan bisa bertemu dan berdialog langsung dengan warga Yahudi Amerika. Sayang, saat di Boston, karena padatnya jadwal, saya tak bisa melakukan liputan tambahan ini. Tapi saat di Athens, Ohio, saya dikasih tahu teman mahasiswa Indonesia yang studi disini, ada sebuah kelompok mahasiswa Yahudi yang mungkin menarik buat saya. Karena pimpinannya –biasa disebut Rabbi, mungkin seperti imam, atau kyai dalam agama Islam-- adalah perempuan. Saya tertarik tentu. Sepertinya kelompok ini adalah kelompok progresif, karena punya pemimpin perempuan. Nama organisasinya, Hillel.
Saat menyaksikan penghitungan hasil suara pilpres Amrik Selasa (4/11) malam sebelumnya, di gedung John Calhoun Baker Univeristy Center di Ohio University (OU) –biasa disebut Baker Center, semacam pusat kegiatan mahasiswa berlantai empat – saya sebenarnya melihat pengumuman adanya kegiatan mahasiswa Yahudi disini. Menarik. Kajian gender. Aliran pemikiran yang mengedepankan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam semua agama, termasuk Islam, aliran seperti ini sebenarnya ada. Meski bagi kelompok tradisionalis, aliran ini dianggap “pemberontak”, kebablasan. Dan ternyata pula, tempelan pengumuman itu berasal dari Hillel.
Kamis (6/11) lalu saya langsung menuju kawasan Mill 21 Street mencari markas Hillel ini. Tempat ini berbentuk rumah bertingkat dua. Di pagar rumah itu terpasang papan nama 'Hillel'.
Sayang, meski pintu terbuka, tak satu pun orang di dalam. Saya tidak berani nyelonong masuk. Sambil berdiri di depan pintu, saya beberapa kali memanggil apa ada orang disana. Sambil menunggu sebentar saya mencoba melihat-lihat suasana di dalam. Sepertinya ruang utama yang ada di hadapan saya waktu itu adalah juga tempat ibadah. Tak ada seorang pun yang muncul setelah sekitar lima menit, saya pun meninggalkan tempat itu.
Gagal ketemu hari itu, saya pun berkirim email. Kebetulan di pengumuman yang saya dapat di Baker Center itu tertera alamat atasnama Rabbi Daniella Leshaw. Tadinya saya kira Daniella adalah laki-laki. Tapi setelah saya lacak, yang muncul adalah foto seorang perempuan. Saya makin yakin, Rabbi perempuan inilah agaknya Rabbi yang dimaksud rekan saya itu.
Tapi sayang, email saya tak berjawab. Saya khawatir kalau-kalau Rabbi Daniella justru merasa khawatir bertemu saya. Mungkin dia was-was, karena belum kenal saya.
Dari website Hillel yang berhasil saya lacak, ternyata mereka menggelar beberapa event. Termasuk pada Jumat (7/11) malam itu, mereka ternyata akan menggelar event di Baker Center lantai II. Saya pun nekat menemui Rabbi Daniella malam itu.
Begitu menemukan ruangan yang saya cari, dari pintu yang terbuka saya langsung bertatapan dengan perempuan yang fotonya sebelumnya sudah saya lihat di internet. Dialah orangnya.
Saya kira tadinya ini hanya acara ngumpul dan makan-makan biasa. Tapi di pintu masuk, saya lihat sebuah kotak yang berisi semacam peci haji namun ukurannya lebih kecil. Mirip peci yang dipakai Pastor Katolik itu. Rupanya ini semacam acara ibadah mereka.
“Anda Rabbi Daniella?,” tanya saya. “Ya, betul,” jawab dia pendek. Dia mengenakan semacam selendang putih dengan hiasan warna biru pada bagian samping di bahunya. Mirip paduan warna bendera Israel.
Sambil mohon bisa “ngobrol” sebentar di luar ruangan, saya pun kemudian memperkenalkan diri. Saya yakin dia langsung mengerti maksud kedatangan saya, karena sebelumnya sudah saya utarakan via email. Termasuk soal Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Juga soal konflik Israel dan Palestina yang tak berkesudahan itu.
Tapi, dia terkesan kurang nyaman menerima saya. Mungkin karena saya ternyata tiba-tiba datang malam itu tanpa memberitahu lebih dulu. Saya pun langsung menanyakan apa pernah ada forum-forum diskusi atau dialog dengan warga Muslim di Athens.
Pertanyaan ini tidak dia jawab langsung. Namun menurutnya di Athens tidak banyak warga Muslim. Terlebih setelah tragedi WTC itu, kemunginan mendapatkan visa Amerika menjadi kian sulit, yang berakibat kian berkurangnya jumlah orang Muslim disini. Itu pun menurut Daniella umumnya adalah para mahasiswa yang studi disini.
Saya kemudian menanyakan pandangannya tentang Obama yang baru saja terpilih sebagai Presiden Amrik. “O, I love him,” jawabnya singkat lagi. Dia kemudian malah balik bertanya kepada saya. Sayangnya obrolan kami harus terputus, karena Rabbi Daniella mengaku harus segera masuk ruangan. “Masuk aja,” ajaknya kepada saya.
Dengan agak ragu, saya pun masuk. Ternyata Rabbi Daniella sudah di depan memimpin acara malam itu. Karena merasa perlu menghormati, saya berusaha bertahan dalam ruangan itu. Saya juga berharap nantinya bisa ngobrol lagi dengan Rabbi Daniella. Sayangnya hingga acara usai, kesepatan itu tak ada lagi. Rabbi Daniella sibuk berbicara dengan jemaatnya, hingga saya memutuskan pulang. (Bersambung)
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (16)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (16)
Imam Perempuan Yahudi: I Love Obama
Jews Woman Rabbi: I Love Obama
Salah satu rasa penasaran saya saat akan berangkat meliput pemilihan presiden (pilpres) ke Amrik ini adalah ingin bertemu warga Yahudi Amerika. Saya penasaran sekali mengetahui asiprasi politik mereka, termasuk menyangkut pandangan mereka tentang kedua calon presiden (capres) yang kemarin bertarung.
Selama ini di Indonesia, kabar tentang lobi Yahudi Amerika memang dianggap super canggih. Umumnya hanya diketahui dari membaca buku-buku. Konon, lobi Yahudi ini bahkan mampu mempengaruhi berbagai kebijakan luarnegeri Amerika di Timur Tengah sana. Termasuk dalam konflik Israel-Palestina.
Selain itu, juga ada keyakinan selama ini, yang namanya capres Amrik harus mendapat “restu” dari lobi Yahudi ini. Kalau tidak, jangan harap bisa terpilih. Restu itu, dalam arti komitmen mendukung kepentingan-kepentingan Israel melalui warga Yahudi Amerika, tentunya.
Saya hanya ingin merasakan bisa bertemu dan berdialog langsung dengan warga Yahudi Amerika. Sayang, saat di Boston, karena padatnya jadwal, saya tak bisa melakukan liputan tambahan ini. Tapi saat di Athens, Ohio, saya dikasih tahu teman mahasiswa Indonesia yang studi disini, ada sebuah kelompok mahasiswa Yahudi yang mungkin menarik buat saya. Karena pimpinannya –biasa disebut Rabbi, mungkin seperti imam, atau kyai dalam agama Islam-- adalah perempuan. Saya tertarik tentu. Sepertinya kelompok ini adalah kelompok progresif, karena punya pemimpin perempuan. Nama organisasinya, Hillel.
Saat menyaksikan penghitungan hasil suara pilpres Amrik Selasa (4/11) malam sebelumnya, di gedung John Calhoun Baker Univeristy Center di Ohio University (OU) –biasa disebut Baker Center, semacam pusat kegiatan mahasiswa berlantai empat – saya sebenarnya melihat pengumuman adanya kegiatan mahasiswa Yahudi disini. Menarik. Kajian gender. Aliran pemikiran yang mengedepankan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam semua agama, termasuk Islam, aliran seperti ini sebenarnya ada. Meski bagi kelompok tradisionalis, aliran ini dianggap “pemberontak”, kebablasan. Dan ternyata pula, tempelan pengumuman itu berasal dari Hillel.
Kamis (6/11) lalu saya langsung menuju kawasan Mill 21 Street mencari markas Hillel ini. Tempat ini berbentuk rumah bertingkat dua. Di pagar rumah itu terpasang papan nama 'Hillel'.
Sayang, meski pintu terbuka, tak satu pun orang di dalam. Saya tidak berani nyelonong masuk. Sambil berdiri di depan pintu, saya beberapa kali memanggil apa ada orang disana. Sambil menunggu sebentar saya mencoba melihat-lihat suasana di dalam. Sepertinya ruang utama yang ada di hadapan saya waktu itu adalah juga tempat ibadah. Tak ada seorang pun yang muncul setelah sekitar lima menit, saya pun meninggalkan tempat itu.
Gagal ketemu hari itu, saya pun berkirim email. Kebetulan di pengumuman yang saya dapat di Baker Center itu tertera alamat atasnama Rabbi Daniella Leshaw. Tadinya saya kira Daniella adalah laki-laki. Tapi setelah saya lacak, yang muncul adalah foto seorang perempuan. Saya makin yakin, Rabbi perempuan inilah agaknya Rabbi yang dimaksud rekan saya itu.
Tapi sayang, email saya tak berjawab. Saya khawatir kalau-kalau Rabbi Daniella justru merasa khawatir bertemu saya. Mungkin dia was-was, karena belum kenal saya.
Dari website Hillel yang berhasil saya lacak, ternyata mereka menggelar beberapa event. Termasuk pada Jumat (7/11) malam itu, mereka ternyata akan menggelar event di Baker Center lantai II. Saya pun nekat menemui Rabbi Daniella malam itu.
Begitu menemukan ruangan yang saya cari, dari pintu yang terbuka saya langsung bertatapan dengan perempuan yang fotonya sebelumnya sudah saya lihat di internet. Dialah orangnya.
Saya kira tadinya ini hanya acara ngumpul dan makan-makan biasa. Tapi di pintu masuk, saya lihat sebuah kotak yang berisi semacam peci haji namun ukurannya lebih kecil. Mirip peci yang dipakai Pastor Katolik itu. Rupanya ini semacam acara ibadah mereka.
“Anda Rabbi Daniella?,” tanya saya. “Ya, betul,” jawab dia pendek. Dia mengenakan semacam selendang putih dengan hiasan warna biru pada bagian samping di bahunya. Mirip paduan warna bendera Israel.
Sambil mohon bisa “ngobrol” sebentar di luar ruangan, saya pun kemudian memperkenalkan diri. Saya yakin dia langsung mengerti maksud kedatangan saya, karena sebelumnya sudah saya utarakan via email. Termasuk soal Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Juga soal konflik Israel dan Palestina yang tak berkesudahan itu.
Tapi, dia terkesan kurang nyaman menerima saya. Mungkin karena saya ternyata tiba-tiba datang malam itu tanpa memberitahu lebih dulu. Saya pun langsung menanyakan apa pernah ada forum-forum diskusi atau dialog dengan warga Muslim di Athens.
Pertanyaan ini tidak dia jawab langsung. Namun menurutnya di Athens tidak banyak warga Muslim. Terlebih setelah tragedi WTC itu, kemunginan mendapatkan visa Amerika menjadi kian sulit, yang berakibat kian berkurangnya jumlah orang Muslim disini. Itu pun menurut Daniella umumnya adalah para mahasiswa yang studi disini.
Saya kemudian menanyakan pandangannya tentang Obama yang baru saja terpilih sebagai Presiden Amrik. “O, I love him,” jawabnya singkat lagi. Dia kemudian malah balik bertanya kepada saya. Sayangnya obrolan kami harus terputus, karena Rabbi Daniella mengaku harus segera masuk ruangan. “Masuk aja,” ajaknya kepada saya.
Dengan agak ragu, saya pun masuk. Ternyata Rabbi Daniella sudah di depan memimpin acara malam itu. Karena merasa perlu menghormati, saya berusaha bertahan dalam ruangan itu. Saya juga berharap nantinya bisa ngobrol lagi dengan Rabbi Daniella. Sayangnya hingga acara usai, kesepatan itu tak ada lagi. Rabbi Daniella sibuk berbicara dengan jemaatnya, hingga saya memutuskan pulang. (Bersambung)
Pejuang Perdamaian Yang Anti WC (Peace Fighter Who Is Anti WC)
Sun, Nov, 10, 2008
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (14)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (14)
Muhammad Rusmadi
Pejuang Perdamaian Yang Anti WC
(Peace Fighter Who Is Anti WC)
Hari itu Senin (3/11), hanya sehari menjelang pemilihan presiden (pilpres) Amrik. Saya menyambangi beberapa titik di kota Athens, Ohio. Salah satunya, Board of Elections (BE), semacam kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia. Ternyata disini lumayan ramai warga Athens yang sedang mengantri untuk memberikan suaranya. Hari itu adalah hari terakhir warga yang ingin melakukan pencoblosan awal (early voting).
Tapi di depan gedung State Court House, bersebelahan dengan gedung BE ini, saya menyaksikan pemandangan menarik lainnya. Setidaknya empat orang tua sedang berdiri di pinggir jalan. Masing-masing memegang kertas besar bertuliskan sejumlah tuntutan. Di antaranya, 'End the Occupation in Iraq and Palestine' (Akhiri Penjajahan di Irak dan Palestina), 'Bring the Troops Home' (Pulangkan Tentara).
“Wah, ada demo nih,” pikir saya. Saya mengamati dari seberang jalan, karena rasanya saya mengenal pria tua dengan jenggot lebat putih itu. “Astaga. Itu kan Arthur Gish?,” benak saya lagi.
Ya, Athens memang kota tempat tinggal dia. Sejak dari Jakarta, sebenarnya saya sudah ingin bertanya pada rekan-rekan saya yang pernah mengundangnya ke Indonesia, namun tak kunjung sempat. Art –demikian ia biasa disapa-- adalah aktivis perdamaian yang menentang berbagai bentuk aksi kekerasan. Termasuk kehadiran pasukan Amerika dan sekutu di Irak yang dia anggap penjajahan. Juga pasukan Israel di Palestina.
Art begitu terkenal di sejumlah kalangan aktivis anti kekerasan –termasuk di Indonesia-- ketika sebuah bukunya yang berjudul Hebron Journal diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diluncurkan. Pada cover edisi buku itu dipasang foto bagaimana Art menantang sebuah moncong tank tentara Israel.
Gish menulis tentang peristiwa yang dia alami di foto itu, “Sebuah tank datang menderu di hadapanku. Moncong raksasanya mengarah kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku di udara, berdoa, dan berteriak, ‘Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai! (Terpujilah nama Tuhan!’) Tank itu berhenti beberapa inci di hadapanku. Aku lantas berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan terangkat di udara. Aku merasa sendiri, lemah, dan tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.”
Menariknya –terlepas kita setuju atau tidak-- dia mengaku beragama Islam, di samping juga Kristen. “Bukankah Tuhannya sama,” kata dia santai. Ini jawaban saat dia ditanya soal agama ketika tampil dalam sebuah acara talk show di Jakarta. Acara itu ditayangkan live oleh sebuah stasiun televisi di Jakarta pada pagi hari. Jawaban ini juga yang dia berikan kepada saya, ketika saya iseng bertanya soal agamanya ini.
Saya cuma manggut-manggut. Untungnya saya pernah belajar Studi Perbandingan Agama yang salah satu teorinya adalah, semua agama sebenarnya sama, menyembah pada satu Tuhan yang sama. Meski ekspresinya yang kemudian beda-beda. Termasuk dalam menyebut nama Tuhan. Istilahnya, 'banyak jalan menuju Monas'. Begitulah kira-kira. Terserah kita setuju atau tidak.
Saya hanya tak menyangka malah bisa bertemu Art secara tak sengaja seperti kemarin itu. Tadinya saya malah berencananya mencari alamatnya. Syukurlah, akhirnya ketemu.
Belakangan, Art bilang, rumahnya sekitar 10-an kilometer dari pusat kota Athens. Saya sebenarnya penasaran ingin bertandang ke rumahnya. Tapi karena jadwal kami tak bisa bertemu, akhirnya saya gagal main ke rumahnya. Dari cerita seorang rekan, Art juga penggiat tanaman non-organik. “Kalau mau gampang cari aja dia (Art -red) di pasar sayur tiap Sabtu pagi. Dia jualan kok,” ungkap Arin, Presiden Asosiasi Mahasiswa Indonesia (Permias) di Athens, satu ketika saat bertemu saya.
Belakangan juga, Art memang bilang dia punya sekitar tiga hektar kebun tanaman non organik. Saya dengar juga dari kawan, rumahnya sangat bersahaja. Malah konon nggak punya WC, karena –maaf-- “ampas buangan” itu dimanfaatkan juga buat pupuk. Ehem! Satu ketika, supir yang mengantar beberapa rekan Indonesia ke rumahnya malah mengaku malu. “Mending ajak ke rumah saya (si supir -red) aja kalau bawa tamu dari luar (Amerika). Malu-maluin.” Begitu kira-kira si supir itu pernah berbisik. Sayang, saya tidak bisa mengkros-cek hal ini.
Menyangkut aksinya hari itu, Art menyangkal ini terkait pilpres Amrik yang sedang digelar. “Ini (demo -red) agenda rutin kita. Selama satu jam tiap hari Senin, kami berdiri disini,” ungkap Art sambil tersenyum bangga akan bentuk perjuangannya. (Bersambung)
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (14)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (14)
Muhammad Rusmadi
Pejuang Perdamaian Yang Anti WC
(Peace Fighter Who Is Anti WC)
Hari itu Senin (3/11), hanya sehari menjelang pemilihan presiden (pilpres) Amrik. Saya menyambangi beberapa titik di kota Athens, Ohio. Salah satunya, Board of Elections (BE), semacam kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia. Ternyata disini lumayan ramai warga Athens yang sedang mengantri untuk memberikan suaranya. Hari itu adalah hari terakhir warga yang ingin melakukan pencoblosan awal (early voting).
Tapi di depan gedung State Court House, bersebelahan dengan gedung BE ini, saya menyaksikan pemandangan menarik lainnya. Setidaknya empat orang tua sedang berdiri di pinggir jalan. Masing-masing memegang kertas besar bertuliskan sejumlah tuntutan. Di antaranya, 'End the Occupation in Iraq and Palestine' (Akhiri Penjajahan di Irak dan Palestina), 'Bring the Troops Home' (Pulangkan Tentara).
“Wah, ada demo nih,” pikir saya. Saya mengamati dari seberang jalan, karena rasanya saya mengenal pria tua dengan jenggot lebat putih itu. “Astaga. Itu kan Arthur Gish?,” benak saya lagi.
Ya, Athens memang kota tempat tinggal dia. Sejak dari Jakarta, sebenarnya saya sudah ingin bertanya pada rekan-rekan saya yang pernah mengundangnya ke Indonesia, namun tak kunjung sempat. Art –demikian ia biasa disapa-- adalah aktivis perdamaian yang menentang berbagai bentuk aksi kekerasan. Termasuk kehadiran pasukan Amerika dan sekutu di Irak yang dia anggap penjajahan. Juga pasukan Israel di Palestina.
Art begitu terkenal di sejumlah kalangan aktivis anti kekerasan –termasuk di Indonesia-- ketika sebuah bukunya yang berjudul Hebron Journal diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diluncurkan. Pada cover edisi buku itu dipasang foto bagaimana Art menantang sebuah moncong tank tentara Israel.
Gish menulis tentang peristiwa yang dia alami di foto itu, “Sebuah tank datang menderu di hadapanku. Moncong raksasanya mengarah kepadaku. Aku mengangkat kedua tanganku di udara, berdoa, dan berteriak, ‘Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai! (Terpujilah nama Tuhan!’) Tank itu berhenti beberapa inci di hadapanku. Aku lantas berlutut di jalanan, berdoa dengan tangan terangkat di udara. Aku merasa sendiri, lemah, dan tak berdaya. Aku hanya bisa menjerit kepada Tuhan.”
Menariknya –terlepas kita setuju atau tidak-- dia mengaku beragama Islam, di samping juga Kristen. “Bukankah Tuhannya sama,” kata dia santai. Ini jawaban saat dia ditanya soal agama ketika tampil dalam sebuah acara talk show di Jakarta. Acara itu ditayangkan live oleh sebuah stasiun televisi di Jakarta pada pagi hari. Jawaban ini juga yang dia berikan kepada saya, ketika saya iseng bertanya soal agamanya ini.
Saya cuma manggut-manggut. Untungnya saya pernah belajar Studi Perbandingan Agama yang salah satu teorinya adalah, semua agama sebenarnya sama, menyembah pada satu Tuhan yang sama. Meski ekspresinya yang kemudian beda-beda. Termasuk dalam menyebut nama Tuhan. Istilahnya, 'banyak jalan menuju Monas'. Begitulah kira-kira. Terserah kita setuju atau tidak.
Saya hanya tak menyangka malah bisa bertemu Art secara tak sengaja seperti kemarin itu. Tadinya saya malah berencananya mencari alamatnya. Syukurlah, akhirnya ketemu.
Belakangan, Art bilang, rumahnya sekitar 10-an kilometer dari pusat kota Athens. Saya sebenarnya penasaran ingin bertandang ke rumahnya. Tapi karena jadwal kami tak bisa bertemu, akhirnya saya gagal main ke rumahnya. Dari cerita seorang rekan, Art juga penggiat tanaman non-organik. “Kalau mau gampang cari aja dia (Art -red) di pasar sayur tiap Sabtu pagi. Dia jualan kok,” ungkap Arin, Presiden Asosiasi Mahasiswa Indonesia (Permias) di Athens, satu ketika saat bertemu saya.
Belakangan juga, Art memang bilang dia punya sekitar tiga hektar kebun tanaman non organik. Saya dengar juga dari kawan, rumahnya sangat bersahaja. Malah konon nggak punya WC, karena –maaf-- “ampas buangan” itu dimanfaatkan juga buat pupuk. Ehem! Satu ketika, supir yang mengantar beberapa rekan Indonesia ke rumahnya malah mengaku malu. “Mending ajak ke rumah saya (si supir -red) aja kalau bawa tamu dari luar (Amerika). Malu-maluin.” Begitu kira-kira si supir itu pernah berbisik. Sayang, saya tidak bisa mengkros-cek hal ini.
Menyangkut aksinya hari itu, Art menyangkal ini terkait pilpres Amrik yang sedang digelar. “Ini (demo -red) agenda rutin kita. Selama satu jam tiap hari Senin, kami berdiri disini,” ungkap Art sambil tersenyum bangga akan bentuk perjuangannya. (Bersambung)
Berkenalan Dengan Fotografer Obama (A Conversation with Obama’s Photographer)
Sat, Nov, 8, 2008
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (13)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (13)
Muhammad Rusmadi
Berkenalan Dengan Fotografer Obama
(A Conversation with Obama’s Photographer)
Saya merasa beruntung saat berada di kota Athens Ohio, dikenalkan dengan Pete Souza. Dia adalah fotografer Barack Obama saat presiden Amerika ini baru merajut karir politiknya sebagai senator. Saya menemuinya Senin (3/11) lalu, hanya sehari menjelang pencoblosan pemilihan presiden (pilpres) yang akhirnya memenangkan Obama sebagai presiden Amrik.
Saat ini, Pete lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajar di sekolah jurnalistik sebagai asisten profesor di School of Visual Communication, Sripps College of Communication, Ohio University. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah jurnalistik terbaik di Amerika Serikat. Meski demikian, di saat yang sama Pete juga masih menjadi fotografer freelance. Saat Amerika dipimpin Presiden Ronald Reagen, dia menjadi fotografer Gedung Putih waktu itu.
Sambil ngobrol, Pete pun memperkenalkan alamat website-nya, www.petesouza.com. Disini bisa disaksikan display foto-foto hasil jepretannya saat Obama baru dilantik sebagai senator mewakili negara bagian Illinois. Juga sejumlah perjalanan Obama sebagai senator yang sering dia ikuti. “Waktu itu cuma saya satu-satunya fotografer yang mengikuti dia (Obama -red),” ungkap Pete. Sementara fotografer lainnya umumnya tidak tertarik bergabung bersama Obama.
Bisa dilihat, jepretan-jepretan Pete saat di Rusia, misalnya. Karena saat itu Obama memang sama sekali tidak dikenal, orang-orang tak ada yang memperhatikannya alias cuek. “Coba Anda perhatikan, orang-orang di sekitar dia (Obama -red) nggak ada yang memperhatikan dia kan?,” ucap Pete, sambil menunjukkan hasil jepretannya saat Obama mengadakan kunjungan ke Moscow itu. Di foto itu terlihat orang-orang seperti sedang mengantri ke arah kanan. Sementara Obama di sebelahnya menghadap arah berlawanan, tak ada yang memperhatikan. “Coba kalau sekarang,” ungkapnya. Foto tersebut menurut Pete diambil sekitar tiga tahun lalu.
Juga saat Obama ikut menghadiri konferensi pers bersama para Senator lainnya, perhatian saat itu hanya tertuju kepada Richard Lugar, Senator gaek asal negara bagian Indiana. “Anda bisa lihat, kemana arah semua mikrofon ini ditujukan kan?,” tambah bekas fotografer Chicago Tribune Biro Washington ini lagi. Di sebelahnya, Obama tampak hanya melamun memperhatikan Richard.
Yang menarik buat Pete adalah, Obama terasa selalu pas dijepret dari sudut manapun. Dan Obama, lanjut Pete, juga tidak pernah merasa terganggu dengan kehadirannya sebagai fotografer di setiap kegiatannya, baik di hadapan publik, maupun saat sedang berada di ruangan kerja. “Sehingga foto-fotonya alamiah, tidak dibuat-buat,” jelas kontributor Majalah National Geographic ini lagi.
Sebagai tukang jepret profesional, Pete memang jeli melihat sisi-sisi humanis Obama, bahkan sejak presiden Amerika yang baru ini “belum jadi apa-apa”. Tapi, lanjut pria yang sudah menemani Obama ke Kenya, Afrika Selatan dan Rusia ini, dari awal dia sudah bisa menduga kalau Obama suatu saat akan melejit.
Sisi-sisi humanis, jepretan belakang panggung dari sosok Obama bisa disaksikan dari tayangan-tayangan di website Pete ini. Khusus buat essay foto-foto Obama di web itu, dia memberi judul 'The Rise of Barack Obama'. Kebangkitan Barack Obama.
Tayangan foto-foto ini dia awali dengan foto Obama yang tampak setengah berlari menaiki tangga gedung Capitol Hill. Seolah foto ini menggambarkan bagaimana Obama menuju puncak kekuasaan. Sementara foto kedua, foto Obama bersama anaknya Malia. Foto ini menggambarkan sosok Obama yang tidak pernah melupakan keluarganya, bahkan di tengah kesibukannya sebagai politisi.
Di setiap kesempatan hajatan politik yang dia hadiri, Obama sering membawa serta istri dan kedua putrinya. Sejak saat menjadi senator hingga saat sibuk berkampanye untuk merebut kursi kepresidenan lalu.
Ketika saya berada Columbus menyaksikan kampanye Obama disana, yang pertama kali tampil malah Michelle, istri Obama. Baru setelah 15 menit memberi sambutan, Obama keluar bersama kedua putrinya, Malia dan Sasha. Malah dipasang pula foto bagaimana Michelle dan kedua putrinya duduk di belakang panggung sambil berbisik, sementara Obama di depan terlihat sedang berpidato dalam rangkaian kampanyenya beberapa waktu lalu.
Yang paling menarik perhatian adalah foto saat Obama dan John McCain --bekas pesaingnya sebagai calon presiden-- saat mereka masih sama-sama menjadi senator. Terlihat Obama sedang berbisik kepada McCain. Kita tahu, saat kampanye, bagaimana kemudian sengitnya pertarungan kedua tokoh ini. Saling serang. Tapi kini McCain harus mengakui kemenangan telak Obama. Malah harus disambut tangisan oleh para pendukung McCain ketika veteran perang Vietnam ini mengaku kalah.
Soal foto-fotonya ini, Pete mengaku sudah menghadiahkannya kepada Obama. “Saya sudah bertemu dia (Obama -red) baru-baru ini. Menghadiahkannya esay foto ini. Dan dia memberi tandatangan buku saya juga,” aku Pete senang. (Bersambung)
Laporan Rakyat Merdeka Dari Athens, Ohio, AS (13)
Rakyat Merdeka Report from Athens, Ohio, US (13)
Muhammad Rusmadi
Berkenalan Dengan Fotografer Obama
(A Conversation with Obama’s Photographer)
Saya merasa beruntung saat berada di kota Athens Ohio, dikenalkan dengan Pete Souza. Dia adalah fotografer Barack Obama saat presiden Amerika ini baru merajut karir politiknya sebagai senator. Saya menemuinya Senin (3/11) lalu, hanya sehari menjelang pencoblosan pemilihan presiden (pilpres) yang akhirnya memenangkan Obama sebagai presiden Amrik.
Saat ini, Pete lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajar di sekolah jurnalistik sebagai asisten profesor di School of Visual Communication, Sripps College of Communication, Ohio University. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah jurnalistik terbaik di Amerika Serikat. Meski demikian, di saat yang sama Pete juga masih menjadi fotografer freelance. Saat Amerika dipimpin Presiden Ronald Reagen, dia menjadi fotografer Gedung Putih waktu itu.
Sambil ngobrol, Pete pun memperkenalkan alamat website-nya, www.petesouza.com. Disini bisa disaksikan display foto-foto hasil jepretannya saat Obama baru dilantik sebagai senator mewakili negara bagian Illinois. Juga sejumlah perjalanan Obama sebagai senator yang sering dia ikuti. “Waktu itu cuma saya satu-satunya fotografer yang mengikuti dia (Obama -red),” ungkap Pete. Sementara fotografer lainnya umumnya tidak tertarik bergabung bersama Obama.
Bisa dilihat, jepretan-jepretan Pete saat di Rusia, misalnya. Karena saat itu Obama memang sama sekali tidak dikenal, orang-orang tak ada yang memperhatikannya alias cuek. “Coba Anda perhatikan, orang-orang di sekitar dia (Obama -red) nggak ada yang memperhatikan dia kan?,” ucap Pete, sambil menunjukkan hasil jepretannya saat Obama mengadakan kunjungan ke Moscow itu. Di foto itu terlihat orang-orang seperti sedang mengantri ke arah kanan. Sementara Obama di sebelahnya menghadap arah berlawanan, tak ada yang memperhatikan. “Coba kalau sekarang,” ungkapnya. Foto tersebut menurut Pete diambil sekitar tiga tahun lalu.
Juga saat Obama ikut menghadiri konferensi pers bersama para Senator lainnya, perhatian saat itu hanya tertuju kepada Richard Lugar, Senator gaek asal negara bagian Indiana. “Anda bisa lihat, kemana arah semua mikrofon ini ditujukan kan?,” tambah bekas fotografer Chicago Tribune Biro Washington ini lagi. Di sebelahnya, Obama tampak hanya melamun memperhatikan Richard.
Yang menarik buat Pete adalah, Obama terasa selalu pas dijepret dari sudut manapun. Dan Obama, lanjut Pete, juga tidak pernah merasa terganggu dengan kehadirannya sebagai fotografer di setiap kegiatannya, baik di hadapan publik, maupun saat sedang berada di ruangan kerja. “Sehingga foto-fotonya alamiah, tidak dibuat-buat,” jelas kontributor Majalah National Geographic ini lagi.
Sebagai tukang jepret profesional, Pete memang jeli melihat sisi-sisi humanis Obama, bahkan sejak presiden Amerika yang baru ini “belum jadi apa-apa”. Tapi, lanjut pria yang sudah menemani Obama ke Kenya, Afrika Selatan dan Rusia ini, dari awal dia sudah bisa menduga kalau Obama suatu saat akan melejit.
Sisi-sisi humanis, jepretan belakang panggung dari sosok Obama bisa disaksikan dari tayangan-tayangan di website Pete ini. Khusus buat essay foto-foto Obama di web itu, dia memberi judul 'The Rise of Barack Obama'. Kebangkitan Barack Obama.
Tayangan foto-foto ini dia awali dengan foto Obama yang tampak setengah berlari menaiki tangga gedung Capitol Hill. Seolah foto ini menggambarkan bagaimana Obama menuju puncak kekuasaan. Sementara foto kedua, foto Obama bersama anaknya Malia. Foto ini menggambarkan sosok Obama yang tidak pernah melupakan keluarganya, bahkan di tengah kesibukannya sebagai politisi.
Di setiap kesempatan hajatan politik yang dia hadiri, Obama sering membawa serta istri dan kedua putrinya. Sejak saat menjadi senator hingga saat sibuk berkampanye untuk merebut kursi kepresidenan lalu.
Ketika saya berada Columbus menyaksikan kampanye Obama disana, yang pertama kali tampil malah Michelle, istri Obama. Baru setelah 15 menit memberi sambutan, Obama keluar bersama kedua putrinya, Malia dan Sasha. Malah dipasang pula foto bagaimana Michelle dan kedua putrinya duduk di belakang panggung sambil berbisik, sementara Obama di depan terlihat sedang berpidato dalam rangkaian kampanyenya beberapa waktu lalu.
Yang paling menarik perhatian adalah foto saat Obama dan John McCain --bekas pesaingnya sebagai calon presiden-- saat mereka masih sama-sama menjadi senator. Terlihat Obama sedang berbisik kepada McCain. Kita tahu, saat kampanye, bagaimana kemudian sengitnya pertarungan kedua tokoh ini. Saling serang. Tapi kini McCain harus mengakui kemenangan telak Obama. Malah harus disambut tangisan oleh para pendukung McCain ketika veteran perang Vietnam ini mengaku kalah.
Soal foto-fotonya ini, Pete mengaku sudah menghadiahkannya kepada Obama. “Saya sudah bertemu dia (Obama -red) baru-baru ini. Menghadiahkannya esay foto ini. Dan dia memberi tandatangan buku saya juga,” aku Pete senang. (Bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)